Jatah untuk pangan berkurang, konsumsi untuk energi naik. CPO untuk biodiesel naik dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020 dan 7,34 ton pada 2021.
Keempat, di tengah kenaikan harga dan realokasi konsumsi CPO, produsen minyak goreng menyesuaikan harga. Harga migor di pasaran melambung. Konsumen menjerit, pemerintah turun tangan.
Pemerintah menetapkan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation). Cara pertama adalah memaksa eksportir untuk memasok kebutuhan CPO dalam negeri. Cara kedua adalah dengan menetapkan HET.
Pemerintah menetapkan harga migor di tingkat konsumen di kisaran Rp 11.500 – Rp 14.000 per liter. Apa yang terjadi? Produsen melawan, spekulan bermain. Migor lenyap di pasaran. Distributor menimbun. Konsumen mengalami panic buying.
Baca Juga: Inilah Beberapa Orang yang Dibolehkan Tidak Melakukan Salat Jum'at, Siapakah Saja?
Harga semakin ugalan-ugalan. Pemerintah kalah. Lalu HET dicabut. Harga migor kemasan 2 liter tembus Rp50 ribu. Ini pelajaran menarik dalam teori ekonomi politik: pemerintah keok melawan pasar. Mereka gagal menangani kartel migor. Pemerintah akhirnya melepas migor ke harga keekonomian.
Di lapak-lapak minimart kembali muncul migor-migor keemasan unggulan seperti Bimoli, Filma, Delima, Sanco, Fortune, dan Sania. Pemerintah mempertimbangkan subsidi migor dengan mengambil dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Apa kuat? Kalau iya, bisa tahan berapa lama?
Kelima, ini masih penjajakan teoritis. Pemerintah keok melawan pasar karena tidak punya lengan langsung (state arm). Ini beda dengan sektor migas. Pemerintah bisa ‘menginjak’ Pertamina untuk menahan harga karena dia alatnya negara.
Atas pertimbangan stabilitas politik, Pertamina diminta untuk menjual tekor BBM, jauh lebih rendah di bawah harga pesaing. Ini tidak bisa dilakukan di sektor sawit, yang didominasi swasta (Grafik 5).
Baca Juga: Mengapa Bos Kebab Baba Rafi Dilaporkan ke Polisi, Apa Kaitannya dengan Investasi Bodong?
Apa ini saatnya Pemerintah mengelola sawit, melalui BUMN, yang mengontrol hulu hingga hilir, dari produksi CPO hingga produk turunannya seperti minyak goreng. Kita punya PTPN, yang kerjanya loyo dan utang menggunung.
PTPN hanya mengelola hulu, tetapi tidak memiliki pabrik hilir untuk memproduksi produk-produk turunan CPO. Seandainya ada BUMN, dengan kualifikasi seperti itu, mungkin Pemerintah tidak akan semalu sekarang ‘dikerjain’ swasta.
DISCLAIMER: Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh M Kholid Syeirazi, Sekjen PP ISNU