KLIKANGGARAN -- Polemik kelangkaan minyak goreng dan harganya yang melambung tinggi membuat minyak goreng menarik dibahas dari berbagai sisi.
Walaupun berbagai cara dilakukan untuk mengantisipasi segala kemungkinan terkait kelangkaan minyak goreng dan harganya yang mahal, tetap saja di beberapa daerah minyak goreng masih sulit untuk didapatkan.
Dalam khutbahnya,Sekretaris Umum PP ISNU, M Kholid Syeirazi menjelaskan alasan kenapa harga minyak melambung tinggi dari sudut pandang lain.
Berikut isi khutbah Jum'at dengan judul 'Mengapa Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi?' dari M Kholid Syeirazi menarik untuk disimak.
Saya akan merunutnya dari hulu ke hilir.
Pertama, minyak goreng adalah produk olahan dari minyak kelapa sawit (CPO). Indonesia adalah produsen sekaligus eksporter CPO terbesar di dunia. Tahun 2021, produksi sawit Indonesia mencapai 51.3 juta ton (Grafik 1).
Dari jumlah itu, 65% (34,2 juta ton) diekspor. Sisanya 18,4 juta ton (35%), dipakai sendiri (Grafik 2). Pemanfaatan konsumsi domestik adalah untuk pangan, termasuk minyak goreng, sebanyak 49%, lalu oleokimia 11%, dan biodiesel 40%.
Kedua, produsen sawit terbesar adalah korporasi swasta (Grafik 3). Mereka kini sedang mendapat rezeki nomplok. Harga CPO naik gila-gilaan. Ini kenaikan tertinggi sejak 2011. Harga per ton mencapai US$1.345. Di awal pandemi, harga sempat terpuruk di level US$577 pada Mei 2020 (Grafik 4).
Mengapa harga CPO terkerek tinggi? Ada faktor pemulihan ekonomi pasca pandemi. Lainnya dampak berantai karena kenaikan harga komoditas primer yang dipimpin oleh minyak mentah. Ada juga faktor penurunan produksi CPO oleh dua produsen utama, Indonesia dan Malaysia. Produksi CPO Indonesia turun tipis, dari 51,6 juta ton pada 2020 ke 51.3 juta ton pada 2021.
Ketiga, dunia sedang galau untuk menggeser energi fosil. Energi non-fosil dibaurkan agar mengurangi konsumsi fosil yang tidak ramah lingkungan. Di sektor transportasi, dunia memperkenalkan biofuel yang diolah dari campuran fosil dan minyak nabati. CPO dipakai sebagai komponen HSD yang dikenal dengan biosolar.
Pemerintah menetapkan kebijakan mandatori biodiesel, dengan program B20 dan B30. Pertamina memproduksi biosolar, dengan kandungan CPO 20 persen dan 30 persen. Ambisinya bahkan B100, artinya 100% dari CPO. Akibatnya terjadi ‘perang’: sawit untuk pangan atau untuk energi.
Baca Juga: Tonton Pertandingan Sepak Bola Favorit Anda Melalui Mola TV
Artikel Terkait
Mengapresiasi Tidak Perlu Menyunat Vonis Kasus Korupsi
Menolak Penundanaan Pemilu 2024, Menolak Presiden 3 Periode untuk Mencegah Potensi Korupsi
Kritik Al-Qur'an terhadap Kristen dan Yahudi: Jawaban dan Bantahan untuk Sdr. Muhammad Nuruddin
Akhiri Polemik SU 1 Maret, Masyarakat Sejarawan Indonesia Minta Keppres No. 2/2022 Direvisi