Contoh Kasus (KDRT dan Desakan Hukum): Kasus-kasus KDRT yang viral, di mana korban berjuang untuk mendapatkan keadilan, seringkali tersandung pada proses pembuktian yang berbelit atau hukuman pelaku yang ringan. Keadilan substantif hanya akan tercapai jika aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) menggunakan perspektif korban (victim-centered approach) dan tidak menggunakan mediasi untuk kejahatan berat.
2. Peran Vital Komunitas dan Keberanian Penyintas
Gerakan perempuan bukanlah gerakan tunggal, melainkan jaringan solidaritas. Ketika sistem gagal, komunitaslah yang menjadi jangkar.
Contoh Kasus (Gerakan Bersuara di Media Sosial): Munculnya gerakan seperti #MeToo secara global dan berbagai inisiatif di media sosial Indonesia telah membuka ruang bagi para penyintas untuk berbagi kisah. Keberanian seorang penyintas KDRT untuk bersuara di forum publik atau seorang korban pelecehan seksual di kampus untuk melapor, bukan hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga memberikan preseden dan energi bagi korban lain. Ini adalah bentuk kewarganegaraan aktif yang menuntut akuntabilitas institusi.
3. Transformasi Pendidikan dan Budaya Anti-Kekerasan
Siklus kekerasan tidak akan terputus tanpa menanggulangi akar patriarki. Pendidikan kesetaraan gender dan anti-kekerasan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum formal sejak dini, sebuah langkah yang juga direkomendasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Pernyataan kunci: Masyarakat harus beranjak dari praktik victim blaming (menyalahkan korban) menuju accountability seeking (menuntut pertanggungjawaban pelaku).
Penutup: Merdeka Bukan Pilihan, Tetapi Hak
Kemerdekaan perempuan dari kekerasan adalah indikator utama peradaban sebuah bangsa. Ketika perempuan merdeka, mereka dapat berpartisipasi penuh dalam ekonomi, politik, dan sains, yang pada akhirnya akan memperkuat struktur sosial secara keseluruhan.
Negara harus menjadikan perlindungan perempuan sebagai prioritas utama dengan menyediakan layanan terpadu (hukum, psikologis, medis), dan bukan sekadar retorika. Suara perempuan yang merdeka adalah sebuah keharusan yang harus kita dengar, dukung, dan realisasikan, demi terciptanya Indonesia yang adil dan beradab.
Artikel ini merupakan opini yang di tulis oleh Refina Nurohman, mahasiswi Universitas pamulang
Artikel Terkait
Inilah Alasan Sebenarnya Presiden Prabowo Copot Arief Prasetyo dari Kepala Bapanas dan Serahkan ke Menteri Pertanian
Memahami Lebih Jauh Majas Personifikasi
Mengenang Petaka Kereta Cepat
Komitmen Guru SMK: Kunci Mutu Pendidikan Vokasi di Era Industri
Manusia di Era Kecerdasan Buatan: Menyambut Masa Depan, Bukan Takut Padanya
Ketika Akreditasi Jadi Ritual: Saatnya Kembali ke Substansi Mutu