Komitmen Guru SMK: Kunci Mutu Pendidikan Vokasi di Era Industri

photo author
- Jumat, 7 November 2025 | 06:58 WIB
SMK Sasmita Jaya 2  (dok)
SMK Sasmita Jaya 2 (dok)

KKLIKANGGARAN -- Guru di SMK bukan sekadar pengajar yang berdiri di depan kelas, melainkan ujung tombak yang menyiapkan generasi siap kerja. Di SMK Sasmita Jaya 2 Pamulang, peran ganda guru terlihat begitu jelas: mereka harus piawai mengajarkan keterampilan teknis sekaligus menjadi pembimbing karakter. Di tangan mereka, pendidikan vokasi bukan hanya tentang teori mesin, listrik, atau desain, tetapi juga tentang kedisiplinan, etos kerja, dan tanggung jawab nilai-nilai yang menjadi bekal utama siswa menghadapi dunia industri yang nyata.

Komitmen kerja guru menjadi napas utama dari mutu pendidikan vokasi. Komitmen itu tampak sederhana, tetapi maknanya dalam: guru yang rela meluangkan waktu lebih untuk menyiapkan bahan ajar berbasis industri, membimbing praktik kerja di bengkel sekolah, hingga memastikan siswa benar-benar siap menjejak dunia kerja. Di sinilah komitmen bukan hanya soal loyalitas, tetapi juga panggilan profesi.

Konteks kebijakan nasional sebenarnya turut menguatkan arah ini. Pemerintah melalui berbagai peraturan dan pedoman pendidikan profesi guru mendorong peningkatan kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Namun di balik aturan yang tampak formal itu, ada tantangan nyata: bagaimana guru bisa menyeimbangkan tuntutan administratif, inovasi pembelajaran, dan pembinaan siswa dalam waktu yang terbatas? Jawabannya terletak pada dukungan sistem sekolah.

SMK Sasmita Jaya 2 menunjukkan bahwa lingkungan sekolah yang kondusif mampu memperkuat komitmen guru. Kepemimpinan kepala sekolah yang komunikatif, sistem penghargaan yang adil, serta fasilitas praktik yang memadai membuat guru merasa dihargai dan termotivasi. Sebaliknya, birokrasi yang berbelit dan sarana praktik yang kurang memadai dapat meruntuhkan semangat bahkan guru yang paling berdedikasi sekalipun.

Dalam konteks psikologis, komitmen guru memiliki tiga dimensi penting. Pertama, afektif, yaitu keterikatan emosional terhadap profesi. Guru merasakan kepuasan mendalam ketika melihat siswa mereka berhasil bekerja di industri. Kedua, normatif, yakni rasa tanggung jawab moral untuk membentuk kompetensi kerja dan karakter siswa. Dan ketiga, berkelanjutan, yaitu keinginan untuk terus bertahan dalam profesi karena adanya peluang karier dan kesejahteraan yang layak. Tiga dimensi ini ibarat tiga kaki penopang kursi: bila salah satunya goyah, komitmen akan mudah runtuh.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterhubungan antara sekolah dan industri menjadi faktor penguat utama. Program seperti teaching factory dan magang terstruktur tidak hanya memperkaya pengalaman siswa, tetapi juga menumbuhkan kebanggaan bagi guru. Mereka melihat hasil konkret dari upaya mengajar—siswa yang mampu menerapkan ilmu di dunia kerja nyata. Pengalaman ini membuat guru semakin bersemangat memperbarui kompetensinya agar relevan dengan kebutuhan industri.

Pelatihan berkelanjutan, program PPG, kursus industri, dan workshop menjadi bentuk nyata dukungan yang dibutuhkan. Ketika guru merasa kemampuan teknis dan pedagogiknya meningkat, disertai insentif dan pengakuan profesional, motivasi intrinsik mereka melonjak. Komitmen bukan lagi sekadar kewajiban, melainkan bentuk kebanggaan terhadap profesi.

Peran kepemimpinan sekolah di sini sangat strategis. Kepala sekolah bukan hanya administrator, tetapi juga inspirator. Kepemimpinan yang suportif—yang memberi ruang inovasi, umpan balik konstruktif, dan kesempatan kolaborasi antar-guru—terbukti memperkuat komitmen kerja. Di SMK, di mana kerja tim lintas jurusan sangat penting, gaya kepemimpinan seperti ini menjadi fondasi budaya profesional yang sehat.

Namun tentu saja, tantangan masih ada. Beban administratif yang berat, ketidaksesuaian antara kurikulum dan kebutuhan industri lokal, serta keterbatasan insentif finansial masih menjadi kendala klasik. Tapi bukan berarti tak ada solusi. Sekolah bisa memulai dengan langkah-langkah pragmatis: menyederhanakan administrasi, menyesuaikan kurikulum dengan dunia industri sekitar, serta memberikan penghargaan non-finansial seperti kesempatan pelatihan, riset, atau publikasi karya guru.

Untuk tahun 2025, ada beberapa strategi konkret yang layak dijalankan SMK Sasmita Jaya 2 untuk memperkuat komitmen guru. Pertama, memperluas kemitraan industri agar praktik pembelajaran semakin relevan. Kedua, membuka akses lebih luas bagi guru mengikuti pelatihan PPG atau sertifikasi kompetensi. Ketiga, membangun sistem penghargaan berbasis kinerja dan inovasi pembelajaran. Keempat, memperkuat budaya profesional melalui komunitas belajar guru seperti lesson study atau PLPG internal. Dan kelima, memperhatikan kesejahteraan guru sebagai bagian dari strategi retensi tenaga pendidik.

Komitmen guru tidak lahir dari perintah, melainkan tumbuh dari ekosistem yang mendukung. Ketika kebijakan nasional, kepemimpinan sekolah, dan kebutuhan industri berjalan seirama, maka guru akan memiliki alasan kuat untuk terus berkomitmen. SMK Sasmita Jaya 2 punya potensi besar untuk menjadi contoh bagaimana pendidikan vokasi dapat melahirkan guru-guru profesional yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi.

Pada akhirnya, kualitas lulusan SMK sangat ditentukan oleh semangat guru yang berdiri di belakang mereka. Memperkuat komitmen kerja guru berarti memperkuat masa depan dunia vokasi Indonesia.

Sumber Referensi:
Permendikbudristek Nomor 19 Tahun 2024 tentang Pendidikan Profesi Guru. Direktorat Pendidikan Profesi Guru. 2024–2025.
Permendikbudristek Nomor 67 Tahun 2024 tentang Penguatan Kompetensi Guru melalui Organisasi Profesi. Kementerian Pendidikan. 2024.
Rustomo, R. (2024). Teacher Commitment and Learning Quality: Encouraging Teaching Factory at Bekasi Islamic Private Vocational School. (Artikel/Prosiding). Menunjukkan hubungan positif antara program teaching factory dan komitmen guru.
(2024). Kepemimpinan Kepala Sekolah, Komitmen Kerja Guru di SMK — JEAL (Jurnal Pendidikan). Menemukan korelasi kepemimpinan suportif dengan peningkatan komitmen kerja guru.
Heryanto, I. (2024). Intrinsic Motivation and Rewards on Affective Commitment — studi pada guru SMK di Bandung. Jurnal terkait motivasi intrinsik dan komitmen afektif.

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh :Dr.Herdi Wisman Jaya,CT.,S.Pd.,M.H ( Guru, Dosen, Peneliti,Akademisi )

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X