(KLIKANGGARAN) --Sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia pada dasarnya bertujuan memastikan setiap lembaga pendidikan memenuhi standar nasional yang menjamin mutu layanan belajar. Dalam kerangka tersebut, akreditasi menjadi instrumen utama untuk menilai kualitas sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi.
Namun, dalam praktiknya, akreditasi kerap lebih dipahami sebagai proses administratif daripada sarana pembelajaran kelembagaan. Banyak institusi pendidikan menyiapkan dokumen secara intensif hanya menjelang visitasi, kemudian kembali ke rutinitas lama setelah nilai akreditasi keluar.
Padahal, menurut riset Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M, 2023), hanya sekitar 42% sekolah yang secara konsisten melanjutkan kegiatan peningkatan mutu setelah memperoleh sertifikat akreditasi. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga belum memandang akreditasi sebagai proses berkelanjutan.
Di tingkat perguruan tinggi, kondisi serupa juga terjadi. Berdasarkan laporan BAN-PT tahun 2024, sebanyak 64% program studi di Indonesia masih berada pada peringkat “Baik” atau “Baik Sekali”, sementara hanya sekitar 14% yang berhasil mencapai peringkat “Unggul”.
Salah satu penyebab utama adalah lemahnya budaya evaluasi diri dan keterbatasan data hasil belajar mahasiswa yang dapat diukur secara objektif. Riset Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa 70% perguruan tinggi swasta kecil kesulitan memenuhi indikator berbasis outcome seperti tracer study dan survei kepuasan pengguna lulusan. Artinya, sistem akreditasi belum sepenuhnya mendorong lembaga untuk fokus pada hasil belajar dan relevansi lulusan di dunia kerja.
Di sisi lain, akreditasi tetap memiliki dampak positif yang signifikan terhadap kepercayaan publik. Studi Mulyani & Wulandari (2022) tentang 120 sekolah menengah di Jawa Barat menemukan bahwa sekolah dengan akreditasi “A” mengalami peningkatan kepercayaan orang tua sebesar 28%, terutama dalam aspek keamanan, fasilitas, dan kualitas pembelajaran.
Baca Juga: Mengenang Hamarong Anas, Pahlawan Budaya Tana Luwu
Dampak serupa juga terjadi di perguruan tinggi: penelitian Rahayu dkk. (2023) menemukan bahwa status akreditasi program studi memengaruhi keputusan 61% calon mahasiswa dalam memilih kampus. Artinya, akreditasi memiliki nilai strategis dalam membangun reputasi lembaga dan menjadi faktor penentu daya saing.
Namun, masalah yang masih mengakar adalah orientasi pada label, bukan substansi. Banyak lembaga masih terjebak pada pencapaian nilai akreditasi semata tanpa memperhatikan keberlanjutan program perbaikan mutu. Hasil kajian Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) Bidang Pendidikan, 2024 menunjukkan bahwa hanya 36% program studi yang secara rutin menindaklanjuti rekomendasi asesor setelah akreditasi.
Hal ini diperparah oleh kesenjangan sumber daya, terutama di madrasah dan perguruan tinggi kecil yang belum memiliki tenaga penjamin mutu atau sistem informasi akademik terintegrasi. Tanpa dukungan teknologi dan pendampingan, proses akreditasi berpotensi menjadi formalitas.
Oleh karena itu, arah kebijakan penjaminan mutu perlu bergeser dari sekadar penilaian dokumen ke pembinaan mutu berkelanjutan. Pemerintah dan badan akreditasi sebaiknya memperkuat sistem mentoring dan quality assurance coaching untuk lembaga berisiko rendah, sebagaimana rekomendasi OECD Education Policy Outlook (2024) yang menekankan pentingnya dukungan kapasitas lokal dalam menjamin mutu pendidikan.
Artikel Terkait
Inilah 4 Rencana Besar Presiden Prabowo untuk Dunia Pendidikan: dari Tambah Dana LPDP hingga Pembagian Buku Sekolah
Komitmen Guru SMK: Kunci Mutu Pendidikan Vokasi di Era Industri
Dalam Rangka Ulang Tahun Kabupaten Kepulauan Seribu, FMKS Soroti Enam Isu Pelayanan, Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan Rakyat