Hidup Damai pun Berat, Apalagi Konfrontasi: Blok Ambalat atau Sabah — Mandek, Sengketa, atau Kelola Bersama? Tapi Rakyat Juga Siap Berperang

photo author
- Jumat, 8 Agustus 2025 | 11:02 WIB
Sugiyanto, Penulis Opini (dok)
Sugiyanto, Penulis Opini (dok)


KLIKANGGARAN-- Hidup damai di era global yang penuh ketidakpastian sudah menjadi tantangan berat. Tekanan ekonomi dunia, ketegangan geopolitik di kawasan, perubahan iklim, dan fluktuasi sosial menjadikan stabilitas nasional sebagai komoditas yang sangat mahal.

Dalam suasana seperti ini, memilih konfrontasi bukan hanya menantang logika, tapi juga mengguncang tanggung jawab moral terhadap nyawa rakyat dan masa depan bangsa. Namun, ketika kedaulatan dipertaruhkan, tak ada ruang bagi ketakutan.

Blok Ambalat, sebuah wilayah strategis di Laut Sulawesi yang kaya akan sumber daya minyak dan gas, telah lama menjadi sumber ketegangan antara Indonesia dan Malaysia. Kawasan yang masuk dalam area ND6 dan ND7 versi peta Malaysia ini mencakup area sekitar 15.235 km² dan menyimpan cadangan energi yang diperkirakan bernilai triliunan dolar.

Sengketa ini bermula dari klaim unilateral Malaysia dalam peta tahun 1979, yang memasukkan Ambalat ke dalam wilayah Sabah tanpa dasar hukum internasional yang kuat. Klaim itu segera ditolak Indonesia dan beberapa negara lain karena bertentangan dengan prinsip United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Berdasarkan UNCLOS, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 1985, Ambalat masuk ke dalam landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia karena berada dalam jarak 200 mil laut dari garis pangkal.

Ini juga didukung oleh Perjanjian Landas Kontinen Indonesia–Malaysia 1969, yang tidak menyebut Ambalat sebagai bagian dari wilayah Malaysia. Namun, alih-alih membawa perkara ini ke Mahkamah Internasional, Indonesia memilih jalur diplomasi bilateral.

Keputusan ini bukan tanpa pertimbangan. Indonesia belajar dari pengalaman pahit dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan Malaysia pada 2002. Mahkamah Internasional mengakui kedaulatan Malaysia karena dinilai lebih aktif mengelola dan mengadministrasi kedua pulau tersebut.

Sejak saat itu, Indonesia memperkuat pendekatan diplomatik dan tindakan konkret di lapangan, seperti pembangunan mercusuar di Karang Unarang dan peningkatan patroli TNI AL di kawasan Ambalat.

Pemerintah Indonesia tetap berpegang pada prinsip non-konfrontatif. Bahkan ketika terjadi insiden bersenggolan antara KRI Tedong Naga dengan kapal perang Malaysia KD Rencong pada 2005, pendekatan diplomasi tetap dikedepankan.

Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai pemerintahan Indonesia menahan diri untuk tidak membawa konflik ini ke eskalasi militer, termasuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Namun, tuduhan bahwa Presiden Prabowo Subianto bersikap lemah atau takut terhadap Malaysia dalam isu Ambalat adalah pandangan yang emosional dan tidak berdasar. Prabowo adalah mantan jenderal tempur, eks Danjen Kopassus, dengan pengalaman luas dalam operasi militer.

Keputusan untuk menahan diri bukan cerminan kelemahan, melainkan strategi pertahanan menyeluruh yang memahami dinamika hukum, politik, dan ekonomi global. Prabowo memahami bahwa kekuatan militer adalah alat terakhir—bukan alat utama—dalam hubungan internasional, sesuai dengan prinsip Piagam PBB Pasal 51.

Pada Juni 2025, Presiden Prabowo dan PM Malaysia Anwar Ibrahim menggelar pertemuan bilateral di Kuala Lumpur. Hasilnya adalah kesepakatan untuk menjajaki kerja sama pengelolaan bersama (joint development) di kawasan Ambalat, sembari terus menyelesaikan batas wilayah melalui jalur diplomasi. Ini adalah langkah realistis yang tidak mengorbankan kedaulatan, tapi membuka ruang kemanfaatan ekonomi di tengah ketidakpastian regional dan tekanan global.

Joint development bukan kompromi, melainkan mekanisme kerja sama yang telah digunakan dalam banyak sengketa maritim dunia. Bahkan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, atau Vietnam dan Tiongkok, pernah menggunakan skema serupa untuk menghindari konflik terbuka sembari tetap mengedepankan klaim masing-masing secara diplomatis.

Dalam konteks Ambalat, skema ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk tetap memperkuat kehadiran hukum dan fisik di wilayah tersebut, sekaligus menghindari konfrontasi yang tidak produktif.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X