Saat Pekerjaan Menjadi Identitas: Menyelamatkan Cara Berpikir Kaum Muda Indonesia

photo author
- Jumat, 8 Agustus 2025 | 10:44 WIB
Ilustrasi (Pixabay/lukasbieri)
Ilustrasi (Pixabay/lukasbieri)

 


KLIKANGGARAN -- Di era digital yang sarat koneksi namun miskin kontemplasi, banyak anak muda Indonesia hidup dalam tekanan sosial yang tak kasat mata, namun sangat nyata: dorongan untuk selalu terlihat aktif, produktif, dan pantas dibanggakan.

Apapun yang mereka lakukan harus bisa dipamerkan, harus bisa di-posting, dan—yang lebih menyedihkan—harus bisa diakui secara sosial.

Mereka berlomba menampilkan pekerjaan sebagai kebanggaan utama, membangun citra diri sebagai “manusia super-sibuk”, bahkan terkadang mengaburkan batas antara bekerja dan hidup itu sendiri. Dalam diam, mereka tumbuh dalam logika baru:

“Aku adalah pekerjaanku.”

Padahal manusia jauh lebih mulia, lebih dalam, dan lebih luas dari sekadar rutinitas pekerjaannya.

Baca Juga: Kerja Sama ITB Swadharma dan PNJ: Dorong Inovasi dan Pengembangan Teknologi

Ketika Kesibukan Menjadi Agama Baru

Mari kita jujur: di kalangan generasi milenial dan Gen Z hari ini, kesibukan telah menjadi agama baru.

Orang dinilai dari seberapa banyak aktivitasnya, bukan dari kedalaman berpikirnya.
Jika seseorang tidak memiliki pekerjaan tetap, maka ia dianggap belum “jadi orang”. Jika ia tak terlihat sibuk, ia dianggap tidak berguna.

Fenomena ini diperkuat oleh budaya media sosial profesional, yang di satu sisi memang bisa memberi inspirasi, tapi di sisi lain menciptakan ilusi sosial. Caption seperti “Proud to share…” lebih menekankan pada pencitraan dibanding pencerminan. Kita mulai membangun identitas bukan dari refleksi, tapi dari resume.

Akibatnya, generasi yang tumbuh bukanlah generasi pemikir, melainkan generasi pelari—yang terus berlari dari satu aktivitas ke aktivitas lain, tanpa sempat duduk merenung:

"Ke mana aku sebenarnya ingin pergi?"

Pekerjaan: Antara Fungsi dan Identitas

Pekerjaan dalam konstruksi masyarakat ideal seharusnya menjadi alat, bukan altar.Ia adalah media untuk berkarya,bukan takhta untuk menuhankan ego. Tapi di tengah atmosfer kompetisi, kapitalisme, dan kecanduan validasi, pekerjaan kini ditarik ke titik ekstrem: menjadi identitas utama diri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X