KLIKANGGARAN -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 telah menimbulkan polemik yang sangat luas. Putusan ini memisahkan Pemilu Legislatif tingkat daerah (DPRD) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari Pemilu Nasional, serta menetapkan bahwa pelaksanaannya dilakukan paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah Pemilu Nasional tahun 2029.
Sedangkan Pemilu Nasional sendiri nantinya hanya akan memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Putusan MK tersebut berpotensi melanggar ketentuan konstitusional mengenai siklus pemilu lima tahunan, khususnya bagi DPRD yang merupakan bagian dari Pemilu Nasional. Implikasi dari putusan ini bukan hanya bersifat teknis dan administratif, tetapi juga menyentuh aspek konstitusional dan demokratis yang sangat mendalam.
Dalam kondisi apa pun, sekalipun disertai alasan yang kuat dan argumentasi akademis yang dilengkapi dengan rancangan masa transisi, putusan ini tetap dapat diperdebatkan dengan alasan tandingan yang sama-sama kuat, logis, dan rasional. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Belakangan ini muncul pendapat lain bahwa putusan MK—khususnya yang terkait penundaan pemilu DPRD—tidak melanggar konstitusi. Pendapat tersebut bahkan menawarkan solusi berupa pemilu DPRD sementara, atau pemilu sela, untuk jangka waktu 2,5 tahun.
Padahal, dalam konstitusi tidak terdapat norma mengenai pemilu sementara atau pemilu sela, apalagi yang hanya berlaku untuk DPRD dalam masa jabatan 2,5 tahun. Konstitusi secara tegas mengatur bahwa pemilu DPRD diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Dengan demikian, apa pun istilah dan mekanisme yang digunakan, penyelenggaraan pemilu DPRD yang tidak berlangsung setiap lima tahun tetap berpotensi melanggar konstitusi.
Situasi ini ibarat buah simalakama. Di satu sisi, menjalankan putusan tersebut berpotensi melanggar Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara serentak setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
Namun di sisi lain, jika putusan tersebut tidak dijalankan, Pemerintah dan DPR dapat dianggap mengabaikan kewajiban konstitusional untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (final and binding).
Penegasan mengenai sifat final dan mengikat ini tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.
Sebelumnya, saya telah menulis beberapa artikel, antara lain “MK Bak ‘Anak Macan’ yang Menggigit Induknya Sendiri,” “Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024: Solusi Reformasi atau Masalah Baru?”, dan “Mungkinkah Rakyat Akan Melawan Putusan MK?”
Dalam artikel-artikel tersebut, pada intinya saya menekankan bahwa putusan ini justru lebih banyak menimbulkan persoalan baru ketimbang menyelesaikan persoalan lama.
Sebagai bagian dari sikap kritis saya, saya juga telah mengirimkan surat terbuka kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan pokok perihal: “Dugaan Pelanggaran Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 dan Permohonan Sidang Etik Kepada Hakim MK serta Info Soal Kemungkinan Melakukan JR atas Putusan MK.” Ini saya anggap sebagai langkah moral dan konstitusional untuk menjaga integritas hukum dan sistem ketatanegaraan.
Putusan ini memunculkan sejumlah persoalan serius. Di antaranya:
Pertama, putusan MK berpotensi melewati batas kewenangan yudikatif dalam sistem trias politica. Desain dan jadwal pemilu adalah bagian dari open legal policy yang menjadi domain legislator, yakni DPR dan pemerintah. Dengan kata lain, keputusan ini dapat dipandang sebagai intervensi lembaga yudikatif terhadap kewenangan legislatif dan eksekutif.
Artikel Terkait
Peran Kedisiplinan Bekerja Pada Generasi Muda di Era Modern
"Scaffolding: Tangga Menuju Pemahaman Belajar Siswa"
Matematika Diskrit: Seni Berpikir Logis yang Mengubah Cara Saya Memandang Angka
Kalkulus: Ketika Metode Pengajaran Menentukan Keberhasilan
Inovasi Pembelajaran Berbasis Digital, UNJ Libatkan Guru SMK L’PINA