CERPEN: Taman Langit

photo author
- Selasa, 1 Maret 2022 | 10:46 WIB
Ilustrasi (Sekar_Mayang)
Ilustrasi (Sekar_Mayang)

Waktu favoritku adalah ketika kami bersantai di balkon apartemen sambil menikmati sisa-sisa keriuhan parade―yang sebenarnya tidak akan pernah berhenti jika festival ini belum sampai ke hari terakhir. Di balkon itu, kami seolah-olah membayar utang jarak. Kadang, Dez bisa tiba-tiba menciumku tanpa peduli mungkin saja banyak pasang mata tertuju ke arah balkon kami.

Baca Juga: Gabung Dewa19, Ello Sebut Bagai Mimpi

Apa kamu tidak akan membiarkanku kembali bekerja, Dez? David pasti kewalahan mencari penggantiku.”

Dez tertawa, tetapi kembali melumat bibirku dengan perlahan.

Tidak. Aku kasihan kepada David. Pasti akan sulit menemukan kolumnis lain dengan otak dan pesona persis sepertimu.”

Dan, aku yakin, ucapan itu sudah membuat wajahku semerah kepiting rebus.

Dez selalu bisa memahami segalanya, termasuk ketika ada hari-hari aku tanpa henti mengiriminya jutaan pesan atau puluhan kali melakukan panggilan telepon. Aku bahkan tidak bisa menjelaskan mengapa aku melakukan hal itu. Padahal, tak jarang, itu adalah hari-hari ketika aku sibuk luar biasa di kantor.

Baca Juga: Siapa Wasit Agus Fauzan Arifin yang Bikin Geram Banyak Warganet pada Laga Madura United vs Persebaya Surabaya?

Jawaban baru hadir beberapa hari setelahnya ketika aku dan Dez punya kesempatan untuk melakukan panggilan video. Oh, kami tidak selalu bisa punya waktu luang bersamaan. Ketika aku sibuk, Dez tidak. Ketika ia harus berada lama di kafe untuk banyak urusan, saat itu aku malah bingung harus berbuat apa. Dan, buku-buku atau bacaan lain tidak pernah membantu untuk urusan rindu yang siap meledak tiap saat.

Itu karena aku sedang memikirkanmu, Em. Merindukanmu seperti bayi menginginkan dekapan ibunya di malam hari.”

Aku tertawa. Benar-benar tergelak. Akan tetapi, ada nyeri setelahnya, yang selalu berakhir dengan air mata. Dan, Dez tidak pernah protes.

Baca Juga: CERPEN: One Only

Dez pernah berkata baru-baru ini, bahwa sejatinya tidak pernah ada jarak antara aku dan dirinya. Fisik bukanlah yang terpenting. Sebab, jiwa kami sudah menyatu. Lagi pula, tambahnya, tiap saat pertemuan itu bisa terwujud.

“Di mana?” tanyaku ketika aku duduk di pangkuannya, ketika kami baru saja bercinta sepanjang sore.

“Taman langit.”

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kitt Rose

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Mirwa dan Lautan

Jumat, 11 April 2025 | 08:17 WIB

Nala, si Pemalas

Rabu, 27 November 2024 | 13:54 WIB

Si Kacamata Hitam dan Pengamen Jalanan

Rabu, 27 November 2024 | 06:49 WIB

Peristiwa Aneh di Rumah Nenek

Minggu, 24 November 2024 | 17:06 WIB

Elena Valleta: Si Putri Hutan

Minggu, 24 November 2024 | 09:01 WIB

Melodi yang Tidak Selesai

Jumat, 22 November 2024 | 07:04 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Mempelai Dua Dunia

Kamis, 24 Oktober 2024 | 22:52 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Rumi di Bukit Terlarang

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:11 WIB
X