“Begitu permintaan Pak Andre, Bu.”
“Saya kurang paham, apa yang harus dia pertanggungjawabkan?”
“Ya, angka yang hilang itu.”
“Angka kerugian itu?”
“Betul.”
“Huft. Saya kok, jadi merasa bodoh ya, Pak.”
“Maaf Bu, ini pesan Pak Andre.”
“Baiklah, Pak. Saya akan hubungi adik saya supaya cepat ke Jakarta. Tapi, tolong sampaikan ke Pak Jefri, Pak Andre, dan Pak Heru, kita semua bertemu di pengadilan saja. Saya sendiri yang akan melaporkan adik saya dan kasus ini ke pihak berwenang, agar diperiksa semua sebagaimana mestinya.” Puniawati tak dapat lagi menahan kesabarannya.
Budi terhentak, segera tangannya meraih ponsel.
“Maaf Pak, sudah malam. Saya pamit dulu, ya. Sampai bertemu di meja hijau.” Puniawati memanggil pelayan untuk meminta nota.
“Bu, sebentar, ini ada pesan dari Pak Heru.”
“Ya?” jawab Puniawati tanpa melihat lawan bicaranya, lalu membayar pesanan minuman pada pelayan yang datang.
“Kata Pak Heru, maksudnya tadi, Pak Reno kalau sempat ke Jakarta diminta mampir untuk membicarakan bisnis yang waktu itu belum terlaksana.”
Puniawati menggelengkan kepala tak habis pikir. Katanya kemudian, “Adik saya sudah menjalankan usaha keluarga, Pak.”
Artikel Terkait
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Enam
Novel Melukis Langit 1, Memeluk Prahara
Novel Melukis Langit 2, Gumpalan Awan Hitam