Baca Juga: Pengen Kopi Gula Aren yang Bikin Ketagihan? Boleh Coba Resep Sederhana Ini
Dodit membelokkan mobil memasuki kawasan menuju pantai Carita. Rama menyimpan heran dan tanda tanya dengan bersikap tak peduli, tapi tak dapat ditahannya juga kekesalan hatinya.
“Berurusan sama orang yang lagi kasmaran emang susah,” gumamnya.
“Kenapa, Ma?
Rama tak menjawab.
“Pantainya kalau masih pagi gini sepi, jadi enak untuk dinikmati.”
“Aku sih, senang-senang aja ikutan menikmati pantai. Dari semenjak di tol tadi sih, udah curiga.”
Baca Juga: Bicara Kopi, Seperti Apa Kopi Bagus dan Jelek?
“Tapi, kok diem aja?” Luvia menggoda.
“Males mau ngomong. Namanya juga lagi pada kasmaran.”
Ratih menundukkan wajahnya menyembunyikan gelisah, sementara Rama tak mau mempedulikan tawa Luvia dan Dodit. Sampai pada pasir-pasir yang masih belum ramai pengunjung, Dodit menghentikan mobilnya.
Dibukanya pintu mobil perlahan, lalu keluar sambil merentang kedua tangan. Yang lain serentak mengikuti.
“Dah, sana, cari pojok yang sepi, tapi karena pantai nggak ada pojok gelapnya, masuk aja ke hutan.” Dengan nada sinis Rama bergumam, lalu menyalakan kretek menahan jemu.
Baca Juga: Puisi Basi untuk Sang Maha
Disisirnya pantai tanpa semangat, dipandangnya laut dengan tatapan hampa. Dihembuskannya napas lelah tanpa ingin menoleh. Dicarinya rumah kacanya pada titik terjauh birunya samudera tanpa mampu mengetuk pintunya.
Artikel Terkait
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca