"Ya Tuhanku, aku belum berbicara panjang lebar dengan Bundaku, bahkan aku belum sempat mencium kakinya dan memohon ampunan atas semua kenakalanku," ucapnya, lalu tangannya terulur ingin menjamah ujung kain ibunya. Tapi, lagi-lagi tak sampai.
"Oh Ibu, ampuni segala kesalahan putramu ini."
Ibunya tentu saja tak mendengar, Samudra tahu itu. Terkulai putus asa Samudra di hadapan ibunya yang tak berkedip memandangi jenazahnya.
"Betapa sepanjang usia aku selalu membuatmu mengelus dadamu yang kerempeng itu, Ibu, ampuni aku. Kau korbankan semua demi aku, tapi aku lebih menyia-nyiakan daripada mensyukurinya. Bahkan aku belum pernah membuatmu tersenyum."
Samudra menggeliat, meronta ingin melepaskan diri dari balutan kain kafan. Tapi, tubuhnya terlalu kaku dan mengejang. Dalam erangan putus asa, makin banyak ia sadar, belum ia selesaikan.
Baca Juga: Luwu Utara: Setelah 70 Tahun, Warga Lantang Tallang Akhirnya Nikmati Listrik PLN
Adiknya kebingungan mencari jalan pulang dari sekolah. Kepala kecilnya mencari ke sana ke mari, siapa gerangan yang menjemputnya. Matanya pun mulai dibalut genangan penuh ketakutan.
“Oh, Upik adikku tersayang, maafkan kakakmu yang tidak bertanggung jawab ini."
Sementara itu, kue-kue ibunya belum diantarkannya ke warung. Padahal dari kue-kue itulah biaya hidup mereka, sekolah si Upik dan kuliahnya bergantung. Kini kue-kue itu telah membusuk karena ibunya tak mampu lagi menahan lelah dan jatuh sakit.
Tugas-tugas para dosen tak satu pun diselesaikannya. Bahkan sajadahnya masih terlipat rapi, harum, belum pernah disentuhnya. Tiba-tiba, sosok menyeramkan menghampirinya, mengayunkan tongkat dan menghardik dengan keras.
"Banyak sekali yang belum kau selesaikan dan kau sudah berada di sini! Pergilah dan selesaikan urusanmu!"
Samudra merasa tubuhnya dilempar dari tempat yang sangat tinggi. Dilihatnya tebing jurang, tapi tangannya tak dapat menggapai karena balutan kain kafan yang sangat kencang membungkus tubuhnya. Sedetik kemudian tubuhnya terguncang keras seperti ada yang memukul. Matanya terbuka lebar dan melihat ibunya sedang mengguncang-guncang badannya.
Baca Juga: Mangsa Ternak Sapi, Warga Menghalau Harimau agar Kembali ke Habitatnya
"Bangun, Samudra, ayam tetangga sudah mulai sibuk berkokok. Sudah berapa kali Ibu membangunkanmu, Nak."
Seketika Samudra melompat. Badannya terjungkal dengan keras di lantai karena lilitan selimut yang membungkus hampir seluruh tubuhnya. Dilepasnya selimut itu, lalu mencium punggung tangan Murni. Ia bersujud di kakinya sebelum melesat ke kamar mandi.