Samudra, seperti tak mau lagi melumuri telinganya dengan kalimat jawaban ibunya, segera berdiri. Dia mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Di sana dia merasa aman dari sumber-sumber dan jalan kehidupan yang disebutnya sebagai petuah usang sang ibu.
Murni kembali mengelus dadanya dan berlalu ke dapur, bergelut memperjuangkan hasil yang sempurna untuk kue-kuenya. Diiringi doa tiada terputus, diolahnya kue-kue itu bertabur dengan syukur pada Sang Maha Adil. Tak lupa diselipkannya doa agar putra tercintanya berubah dan tumbuh menjadi manusia yang layak.
*
Baca Juga: Berikut Pemenang Film Festival Antikorupsi Yang Digelar KPK
"Sam, kamu ini gimana toh, runtang-runtung sama si Ratna, tapi ndak jelas pacaran apa ndak," kata Jamal seusai kuliah.
"Siapa yang bilang kami pacaran?" Samudra menyisir rambutnya yang seperti tidak pernah bersisir itu dengan tangan.
"Lho, jadi kamu itu ndak suka toh, sama Ratna? Ndak cinta?"
"Emang kenapa?"
"Lha, kalau kamu ndak cinta sama dia, ya biar aku saja yang bilang cinta sama dia. Wong aku itu tertarik sama dia sudah lama lho."
"Emang kamu berani?"
"Kalau rasa ini sudah mendesak, ya berani saja Sam."
Samudra menghentikan langkah, menarik kerah Jamal, lalu berkata dengan raut serius, "Kamu berani macam-macam, tak potong lehermu!"
"Lho, kok jadi marah. Tadi katanya ndak mau dibilang pacaran. Sekarang kok marah? Berarti kamu itu cinta sama dia," tangkis Jamal sambil melepaskan tangan Samudra dari kerahnya.
Tawanya berderai, merasa pancingan telah mengenai sasaran. Samudra memerah mukanya. Dia merasa jendela hatinya sedikit terbuka, dan telah tertangkap basah oleh sahabatnya.
Baca Juga: Thomas Tuchel Ratapi Kekalahan Chelsea, Sesalkan Kesalahan Penjaga Gawang