"Tapi, aku mimpi sudah dua kali, lho, Mas."
"Kamu terbawa suasana mungkin. Ke mana kita pergi selalu bertemu orang-orang yang membahas mengenai hal itu. Televisi, radio, di kantor, bahkan di arisan RT juga membahas hal yang sama. Wajarlah itu Sih, itu tanda kalau kita masih peduli. Nggak usah terlalu dipikirin sampai dibawa mimpi segala."
"Emangnya aku minta untuk mimpi hal yang sama, mimpi kan datang dengan sendirinya, Mas."
"Iya, tapi mimpi bisa juga disebabkan karena kita terlalu memikirkan sesuatu."
"Mas kan tahu, aku tidak suka politik, jadi mana mungkin aku mikir soal politik sampai kebawa mimpi seperti ini."
"Ya sudahlah, mudah-mudahan saja mimpimu ini nggak jadi kenyataan. Sekarang berdoa biar bisa tidur lagi dengan tenang, dan nggak mimpi lagi tentang hal yang sama."
*
Baca Juga: Puisi: Pulau Asmara
Keesokan paginya Selasih mematung dengan wajah tegang di depan televisi. Apa yang dilihatnya di layar kaca itu sama persis dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Semua orang sibuk mempersiapkan demo, lalu seorang pemuda terkapar di tanah.
"Mas, sini lihat!" seru Selasih dari depan televisi.
"Ada apa?" tanya Burhan sambil membetulkan letak dasinya.
"Tuh lihat, sudah mulai diberitakan, orang-orang merencanakan demo di mana-mana. Besok Hari Antikorupsi sedunia."
"Walah, itu lagi yang kamu urusin. Sudah siang, nih. Aku harus rapat pagi-pagi, jadi cepetan, terlambat aku nanti."
Selasih mengambil tas kerja suaminya dan menyerahkannya bersama map-map penuh berisi berkas.
"Mas duluan saja, aku hari ini ke kantor agak siang. Andri mau menjemputku, sekalian ada hal penting yang mau dia ceritakan katanya."