“Selamat, ya. Jangan lupa undang aku.”
Berkata demikian, Rama berdiri dan berjalan tanpa menoleh lagi, meninggalkan Dodit sendirian. Tak lama, setelah yakin sahabatnya sudah menjauh, Dodit menyeberangi jalan menuju sebuah rumah.
Ratih sudah menunggunya di balik pintu. Melihat Rama dating gadis itu segera membuka pintu dan keluar rumah. Mereka berbincang sebentar, lalu Dodit pergi meninggalkan rumah itu sambil mengantongi sejuta senyum.
Direntangnya tangan menyongsong angin malam dan warna redup bulan dengan senyum kian lebar. Malam berselimut cahaya keemasan dari ketinggian membuat senyum Dodit betah bertengger di bibirnya.
-∞-
Baca Juga: Puisi Basi untuk Sang Maha
“Aku takut.”
Ratih memegang erat tangan Luvia. Wajahnya seputih kapas, jemarinya berkeringat. Luvia menggenggam tangan sahabatnya ingin memberi ketenangan.
“Tenang, Rama nggak nggigit, kok. Walaupun keliatan kasar, aku tahu hatinya lembut. Kamu tenang aja.”
“Tapi, sejak kita sebarkan berita aku mau nikah sama Dodit, dia nggak mau negur aku lagi. Sikapnya semakin acuh.”
“Itu tandanya dia cemburu setengah mati.”
“Aku masih takut.”
Baca Juga: Pandemi dan Korupsi, Dua Wabah Besar yang Sangat Berbahaya
“Sayangnya seniman yang satu ini nggak berani membuka lembaran hatinya untuk kita baca.”
“Tak ada nada cemburu pada matanya.”