fiksi

Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat

Minggu, 12 September 2021 | 22:10 WIB
Kopi Sore dan Timbunan Cinta (Dok.klikanggaran.com/Dodi)

Satu tahun berlalu. Ratih sedikit demi sedikit dapat menasehati hatinya agar tidak terus menangisi kepergian Gading. Setelah pertemuan terakhir keduanya, esok hari Gading mengabarkan bahwa dia tidak dapat ikut ujian di kampus karena harus segera pulang ke kampong halaman. Kopi sore dan timbunan cinta yang diharapkan Ratih bakal terhampar lagi di hadapannya bersama Gading, harus kandas.

Satu, dua, tiga, dan sampai pada bulan ke enam tak ada secuil pun kabar dari Gading. Sampai pada pertengahan bulan berikutnya datang undangan pernikahan Gading untuknya. Hari demi hari dihabiskan Ratih dengan mengunjungi kedai-kedai kopi yang biasa mereka singgahi. Dia tuang sendiri kopi sore dan timbunan cinta di atas tatakan cangkir seperti biasanya. Mencoba menyimpan wajah Gading dengan rapi di salah satu sudut hatinya.

Satu tahun sudah Ratih merana seorang diri, tiap hari menuang kopi sore dan timbunan cinta, berpindah dari satu kedai ke kedai kopi lain. Hari ini, Ratih membulatkan tekad untuk tak lagi meratapi hilangnya Gading dari kehidupannya. Cinta untuk Gading akan disimpannya, tak dibuang atau dilenyapkan, tak juga dipupuk agar tumbuh subur. Hanya disimpan, sebagai monumen, agar kelak dia masih bisa tersenyum untuk dirinya sendiri.

Baca Juga: Wanita Jalang

“Cintaku padanya masih utuh sepertinya, hingga belum ada satu pun pemuda lain yang bisa menggantikannya di hatiku,” gumam Ratih sore ini, duduk sendiri di salah satu sudut café.

“Dia bilang tak bisa jauh dariku…”

“Dia bilang tak bisa jauh dariku…”

“Dia bilang tak bisa jauh dariku…”

“Sekarang dia menghilang.”

Ratih berdiri perlahan ke meja kasir, membayar kopinya tanpa banyak bicara, lalu berjalan keluar dengan langkah terlihat ringan. Letak café memang tak jauh dari rumah kos Ratih, beberapa blok ke depan sudha sampai. Gadis itu berjalan perlahan sepanjang trotoar, sesekali mendongak, menatap langit dengan mata bertanya. Tak lama di sudut bibirnya terukir seulas senyum, entah senyum untuk apa. Langit sore memayunginya dengan sensasi hangat.

-∞-

Baca Juga: Kolaboraksi Kebaikan di Masa Pandemi, 14 Hari MAG dan Dompet Dhuafa Bagikan Paket Makanan

Dua tahun kemudian.

Ratih berdiri kaku. Diliriknya sekali lagi lelaki muda yang berdiri acuh di sebelahnya. Lehernya tercekat saat dilihatnya lelaki muda itu juga meliriknya.

Halaman:

Tags

Terkini

Mirwa dan Lautan

Jumat, 11 April 2025 | 08:17 WIB

Nala, si Pemalas

Rabu, 27 November 2024 | 13:54 WIB

Si Kacamata Hitam dan Pengamen Jalanan

Rabu, 27 November 2024 | 06:49 WIB

Peristiwa Aneh di Rumah Nenek

Minggu, 24 November 2024 | 17:06 WIB

Elena Valleta: Si Putri Hutan

Minggu, 24 November 2024 | 09:01 WIB

Melodi yang Tidak Selesai

Jumat, 22 November 2024 | 07:04 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Mempelai Dua Dunia

Kamis, 24 Oktober 2024 | 22:52 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Rumi di Bukit Terlarang

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:11 WIB