Selepas makan siang, Kirana dan Dira kembali ke taman. Kali ini mereka hanya duduk di bangku panjang sambil membaca buku yang sengaja mereka bawa dari rumah. Buku bagi mereka adalah penyembuh. Mereka tidak lagi ketakutan, tidak perlu lagi bersembunyi jika mendengar orang bicara dengan nada tinggi.
“Aku ingat, kamu membawa Kirana dan Dira pada kunjunganmu yang kedua kalinya.”
Itu betul. Aku membawa Kirana dan Dira ke tempat tinggal Moy. Awalnya kukira mereka berdua akan takut melihat kondisi Moy, tetapi kekhawatiranku tidak beralasan. Nyatanya, Moy bahkan banyak memberi respons positif.
“Aku ingat, mereka menemaniku duduk di teras. Dira menyisir rambutku dan Kirana menyuapi aku sepotong keik cokelat. Keiknya enak sekali, Ru. Di mana kamu membelinya? Pasti dari toko roti mahal di mal, ya?”
Aku tertawa. “Tidak, Moy. Keik itu buatan ibuku. Ibu membuka toko roti kecil di rumah. Ibu tahu, aku hendak mengunjungimu, jadi beliau buatkan spesial untukmu.”
“Ah, senangnya. Sayang sekali, aku tidak pernah sempat bertemu ibumu, Ru, padahal aku ingin tahu wajah perempuan yang menjadi malaikat pelindungmu.”
“Nanti akan ada waktunya, Moy.”
Setelah kunjungan kedua itu, aku meminta Moy untuk pindah ke tempat yang lebih dekat denganku dan anak-anak. Ia tidak menjawab, tetapi binar matanya sudah bicara banyak.
“Waktu …,” gumam Moy. “Aku tidak pernah bersahabat dengan waktu, Ru. Aku selalu kalah oleh waktu, kalah oleh ego, kalah oleh kenaifan, dan akhirnya, harus jatuh.”
Baca Juga: Ada Penyalahgunaan Senilai Rp 1 Miliar Lebih pada Wahana Wisata Perum Perhutani Ranca Upas
Jatuh, adalah kata yang bisa disematkan ke dua kondisi. Ia bermakna baik jika dipasangkan dengan kata-kata tertentu. Misalnya, jatuh hati. Namun, jika dipasangkan dengan kata miskin, maka maknanya tidak bagus. Dan, jatuh yang dialami Moy, bukan jatuh yang mengenakkan.
Oh, bukan, Moy bukan jatuh miskin. Penderitaannya lebih jauh dari itu. Ia tetap memiliki rumah dan sejumlah tabungan, tetapi tidak dapat menikmati semuanya.
Di mana keluarganya?