Kuakui, Ferdi memang pandai membaca pikiran orang lain. Ia seperti dianugerahi bakat itu. Sudah beberapa kali aku mendapati dugaan Ferdi nyaris benar seratus persen. Akan tetapi, Ferdi tidak mengatakan apa-apa ketika aku mengenalkan Yuna padanya. Mengapa baru sekarang? Apa Ferdi sedang menjaga perasaanku saat itu? Padahal, jika aku tahu pendapat Ferdi sejak dulu, tentu aku akan berjaga-jaga.
Baca Juga: Para Pakar: Tidak Akan Ada Efek Samping Jangka Panjang dari Vaksin mRNA
“Never too late for apologize, Ru.”
“Siapa yang harus minta maaf, Fer? Aku?”
Entah mengapa, aku tidak suka pendapat Ferdi kali ini. Aku telanjur kesal dengan segalanya.
“Keduanya,” sahut Ferdi. Aku mengernyitkan dahi. “Ingat, Ru, Yuna tidak melakukan hal seperti itu hanya karena iseng. Pasti ada yang melandasi tindakannya. Kamu juga harus melihat ke dalam, barangkali ada yang sudah kamu lakukan kepada Yuna—sesuatu yang tidak Yuna sukai.”
“Sesuatu yang tidak Yuna sukai?” gumamku. “Apa itu?”
Ferdi mengendikkan bahunya. Ia mematikan bara pada ujung rokoknya, meminta nota tagihan pada pelayan sembari membereskan laptopnya.
“Aku minta maaf, Ru, tidak bisa menemanimu lebih lama. Ada hal lain yang membutuhkan perhatianku.”
Aku tidak membalas. Tatapanku sibuk menembus dinding kafe sementara benakku membayangkan seperti apa jadinya pembicaraan antara aku dan Yuna nanti. Itu pun kalau aku benar-benar berani mengajak Yuna bicara.