Proyek Whoosh Disorot Lagi: Pengamat Nilai Pergeseran dari Jepang ke China Jadi Akar Masalah Utama

photo author
- Minggu, 19 Oktober 2025 | 21:42 WIB
Menyoroti kontroversi proyek Whoosh yang diduga mengalami pembengkakan biaya hingga beban utang besar negara.  ((Instagram.com/@keretacepat_id))
Menyoroti kontroversi proyek Whoosh yang diduga mengalami pembengkakan biaya hingga beban utang besar negara. ((Instagram.com/@keretacepat_id))


(KLIKANGGARAN) – Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan publik.

Di balik kebanggaan nasional atas kemajuan teknologi transportasi, muncul tanda tanya besar tentang siapa yang harus memikul beban utang besar di balik proyek ini.

Politisi Akbar Faizal menyoroti perhitungan ekonom Faisal Basri yang memperkirakan masa balik modal proyek bisa memakan waktu hingga lebih dari 30 tahun. Dengan harga tiket yang terus berubah, Akbar menilai proyek ini sulit menguntungkan negara.

“Katakanlah 33 tahun saja, itu sudah terlalu lama. Itu bukan lagi investasi,” ujar Akbar tegas dalam siniar YouTube Akbar Faizal Uncensored, Minggu, 19 Oktober 2025.

Baca Juga: Menkeu Purbaya Yakin Ekonomi Mulai Pulih, tapi Pengangguran Gen Z Masih Bertahan di Atas 15 Persen

Akbar juga mempertanyakan siapa yang pertama kali mengubah arah proyek dari Jepang ke China. Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menjelaskan duduk persoalan yang selama ini jarang disorot publik.

“Tentu orang nomor satu republik ini, Pak Jokowi. Karena waktu itu (2014–2015) beliau presiden,” ucap Pambagio dalam kesempatan yang sama.

Pergeseran dari Jepang ke China

Pambagio memaparkan, Jepang awalnya menawarkan pinjaman antarnegara dengan bunga hanya 0,1 persen. Namun, Presiden Jokowi disebut memilih menggunakan skema melalui Kementerian BUMN yang kemudian menggandeng investor China.

Baca Juga: Bambang Pamungkas Minta Fans Garuda Introspeksi, Bukan Marah-Marah Usai Gagal ke Piala Dunia 2026

Ia menambahkan, keputusan berpindah dari Jepang ke China bermula dari sikap Menteri Perhubungan kala itu, Ignasius Jonan, yang menolak proyek kereta cepat karena dianggap belum mendesak.

“Presiden yang meminta Bu Rini (Soemarno) untuk meneruskan ke China karena Jonan tidak bersedia. Jadi Presiden sendiri yang mengubah dari Jepang ke China,” terang Pambagio.

Akibat keputusan itu, sistem pendanaan berubah dari government-to-government (G2G) menjadi business-to-business (B2B). Meski tanpa subsidi negara, beban bunga dan risiko finansial tetap berimbas pada keuangan nasional.

Baca Juga: Tragedi Rainbow Slide Ketapang: Keceriaan Pasar Malam Berubah Panik, Polisi dan Publik Soroti Keamanan Wahana

Skema B2B yang Dinilai Bermasalah

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muslikhin

Sumber: Liputan

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X