Kata Sasti Gotama, padahal tulisan-tulisan Gunawan lainnya membawa cerita-cerita serius.
Oh, primbon ‘peli’ ini saya pikir juga pasti ditulis dengan amat serius. Dan, dengan gaya tutur yang serius juga. Inti ceritanya pun cukup realistis. Saya yakin, Gunawan sebenarnya menangkap detail-detail dalam bukunya dari fenomena yang terjadi di sekitarnya. Misalnya saja dalam Seorang Pengumpat dan Seorang Wali, Gunawan mengisahkan kekonyolan, kenakalan, serta kesetiakawanan sekumpulan murid SMA.
Atau, dalam cerpen Banci Gento, peristiwa tokoh aku di-loco (dibantu masturbasi oleh orang lain) seorang waria, adalah kisah serius yang akhirnya membekas di bawah sadar. Membuat tokoh aku menemukan surga lain yang bisa membahagiakan dirinya.
Di luar norma dan dogma, semua yang terjadi bukan hal yang tabu untuk dibicarakan. Realitas hidup tidak melulu bisa sesuai dengan keinginan kita, apalagi keinginan orang lain. Akan ada masanya kita mendapati beberapa poin meleset dari perkiraan.
Dalam cerpen Antara Aku dan Anjing Itu, Gunawan mengadopsi konsep reinkarnasi. Seekor anjing menjadi manusia di kehidupan selanjutnya, sementara di sisi lain, ada seorang manusia yang berubah menjadi anjing ketika terlahir kembali. Keduanya bahagia dengan bentuk baru mereka. Dan, ajaibnya, mereka bertemu dalam suatu pengabdian bersama.
Ya, si anjing menjadi seekor pelacak paling jago yang dimiliki sebuah negeri, dan si manusia adalah pemilik sekaligus pelatihnya. Tidak seperti kebanyakan anjing pelacak, si anjing ini tinggal satu rumah dengan majikannya, alih-alih di sebuah tempat karantina.
Hanya saja, sebagai pejantan, meskipun sudah dikebiri, si anjing masih memiliki sisa-sisa libido dalam dirinya. Ketika melihat putri majikannya, berahi itu muncul. Kisah ini berakhir dengan tragis. Si anjing yang tidak merasa bersalah, memprotes keputusan penguasa negeri yang mengurung dirinya bersama anjing-anjing pelacak lainnya dalam sebuah tempat karantina.
“Pernahkah seumur hidupmu kau mampu mencium bau tubuhmu sendiri, selain pesing kencingmu?” (Antara Aku dan Anjing Itu, halaman 49)
Kurang lebih kutipan itu sama dengan peribahasa ‘semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak’. Bahwa, seseorang bisa sangat jelas melihat sesuatu yang berada di kejauhan, tetapi tidak mampu mengenali poin-poin tertentu yang sepanjang masa berada di samping, atau bahkan melekat pada dirinya.
Pada akhirnya, kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya memiliki beberapa sudut pandang. Dengan kata lain, kemampuan yang diagung-agungkan, jika tidak dipakai dengan bijak, dapat mengaburkan persepsi. Padahal, untuk bisa menerima segala hal yang terjadi dengan tenang, butuh beberapa sudut pandang yang cukup lebar.
Secara tidak langsung, penulis ingin menyampaikan tausiyah melalui cerita-cerita yang ia tulis. Dalam cerpen Banci Gento, Gunawan menulis amat panjang, amat detail, dan amat memuaskan ‘berahi’ pembacanya. Dan, tentu saja, amat berani menuliskan perilaku seks menyimpang sebagai premis.
Artikel Terkait
Resensi Buku: Cara Hairus Salim Mengintip Indonesia
RESENSI BUKU: Hal-Hal yang Dibicarakan Ketika Raymond Carver Bicara Soal Cinta
CERPEN: Taman Langit
CERPEN: Aku Kehilangan Diriku Sendiri
CERPEN: Aku Tunggu di Hotel Sekarang!