resensi

Resensi Buku: Cara Hairus Salim Mengintip Indonesia

Senin, 20 Desember 2021 | 05:19 WIB
Ilustrasi: Cover Buku (Klikanggaran/Sekar_Mayang)

KLIKANGGARAN--Indonesia begitu kaya. Mulai dari dasar laut sampai puncak gunung, mulai Sabang di barat sampai Merauke di timur, mulai kuliner sampai karya sastra. Tentu saja ada banyak cara untuk menikmati kekayaan Indonesia. Semua bebas memilih sesuai kemampuan.

Bagi yang memiliki dana dan waktu, berkeliling Indonesia, menjelajahi satu per satu lokasi, tentu menjadi pilihan. Ya, meskipun harus bijak memilih bagian mana saja yang ingin didatangi. Sebab, tujuh belas ribu pulau tentu tidak mungkin terjelajahi dalam waktu singkat, bahkan jika harus meluangkan puluhan tahun.

Untuk pulau-pulau besar saja, dengan banyak kota dan kabupaten, pasti memakan waktu lama untuk bisa menikmati segalanya. Maka dari itu, banyak orang mengatakan Indonesia sangat kaya, meskipun belum semua potensi dapat dimanfaatkan.

Baca Juga: Thariq Halilintar dan Fuji Bersamaan Unggah Video Kekompakan di Tik Tok, Warganet Baper

Hairus Salim memilih cara mengintip Indonesia yang lebih mudah, yaitu mengulas karya-karya sastra. Tujuh belas ulasan karya yang luar biasa bergizi tampil dalam buku berjudul Mengintip Indonesia dari Lerok dan Oetimu. Saya pikir, angka tujuh belas mungkin dipilih agar sama dengan tanggal kemerdekaan Indonesia.

Sesuai judul bukunya, memang ada ulasan mengenai novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia karya Mahfud Ikhwan serta Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Tak sekadar mengulas, Hairus Salim membedahnya begitu rupa. Bisa jadi, setelah membaca, Anda mungkin ingin sekali memiliki buku-buku itu. Ya, seperti yang terjadi pada saya. Saya memutuskan membeli Orang-Orang Oetimu, meskipun novel itu tidak lagi terbilang baru.

Begitu pula dengan ulasan karya-karya lainnya, termasuk cerpen milik Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Dendam. Cerpen ini disandingkan dengan cerpen milik Djamil Suherman berjudul Umi Kalsum dan cerpen A. A. Navis dengan judul Robohnya Surau Kami demi membahas lema ‘haji’ yang menjadi tokoh dalam ketiga karya tersebut.

Baca Juga: Kronologi Kematian Sayaka Kanda, Pengisi Suara Anna Frozen yang Ditemukan Berlumuran Darah di Hotel

Untuk apa dibahas? Sebab, dalam tiga cerpen tersebut, sosok haji tidak seperti yang selama ini dibayangkan awam. Haji dalam tiga cerpen tersebut mengalami pergeseran makna dan peran. Semuanya sekadar menjadi label untuk menutupi ketidakidealan kondisi. Haji bukan lagi sebagai sosok yang santun, rendah hati, dan sudi menolong orang lain tanpa diminta. Haji di sana berubah menjadi sosok yang tamak, bahkan sekadar dipakai sebagai tameng untuk menutupi pekerjaan sebagai mata-mata.

Dalam pengantar buku ini, Hairus Salim berkata, “Karya-karya sastra dibaca tidak lagi melulu soal penokohan, plot, atau ekspresi penulisnya, tapi misal tentang representasi, resepsi pembaca, hubungannya dengan politik, politik kanonisasi, konstruksi resistansi, dan berbagai pemaknaannya.” (halaman 8)

Sebuah karya rata-rata tidak lepas dari momen yang terjadi saat itu. Atau, dalam sudut pandang lain, sebuah karya bisa lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di kehidupan nyata. Ambil contoh saja kejadian tahun 1965. Tak terhitung jumlah karya yang ditulis berdasar momen tersebut.

Baca Juga: Jembatan Suramadu pada 20 Desember atau Senin Malam Tutup selama 2 Jam, Mengapa Jembatan ditutup?

Beberapa judul bisa kita sebut dengan mudah. Misalnya saja dwilogi Saman dan Larung milik Ayu Utami, serta Pulang karya Leila S. Chudori. Peristiwa 1965 menjadi latar yang mengubah nasib para tokoh di dalamnya. Betapa keputusan-keputusan beraroma keterpaksaan harus diambil, serta konsekuensi-konsekuensi yang harus siap mereka terima.

Hairus Salim pun tak luput membahasnya dalam beberapa ulasan. Salah satunya ketika ia mengulik karya-karya milik G. M. Sudarta yang terhimpun dalam Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam, dan Karma di Balik Tragedi ‘65. Sudarta adalah kartunis harian Kompas.

Halaman:

Tags

Terkini