KLIKANGGARAN -- Judul buku ini adalah Cakra Manggilingan dan pernah dibedah oleh Prof. Sri Margana dari Universitas Gadjah Mada.
Cakra Manggilingan diterbitkan pada 2020 dan hasil penjualan buku ini akan disumbangkan kepada ahli waris Tikto Wahyono di Kulonprogo Yogyakarta. Bagi yang berminat memiliki buku ini gapat menghubungi AGSI Yogyakarta.
Cakra Manggilingan ditulis oleh beberapa penulis dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) DIY untuk mengenang 1000 hari wafatnya sahabat AGSI Yogyakarta Tikto Wahyono yang meninggal pada 22 Juli 2019 di usia 30 tahun.
Lilik Suharmaji adalah penyunting Cakra Manggilingan, dan mengingatkan kepada pembaca bahwa hidup itu seperti roda yang berputar kadang susah kadang senang, kadang sulit kadang mudah, kadang di atas kadang di bawah, sehingga mengingatkan orang agar tidak sombong, tidak semena-mena ketika mempunyai jabatan, kekuasaan dan harta karena suatu saat semua yang dimiliki dan disandangnya itu pasti akan terlepas.
Lilik menyampaikan pesan itu dalam konteks salah satu pelajaran kehidupan yang dapat dipetik dari buku ini, terutama tentang peristiwa 17 Oktober 1952.
Saat itu Petinggi TNI seperti Kolonel A.H. Nasution selaku KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) berencana menjadikan TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebagai tentara yang profesional dan efektif. Rencana itu berdampak pada pengurangan jumlah tentara yang selama ini dianggap tambun, tetapi tidak profesional.
Anggota tentara yang dirasionalisasi berjumlah dari 200.000 menjadi 100.000 orang. Tentu saja rencana rasionalisasi ini menimbulkan keresahan di kalangan tentara yang berpendidikan rendah dan bekas tentara PETA. Salah satu dari bekas tentara PETA yang tidak senang dengan program ini adalah Kolonel Bambang Supeno seorang perwira dari Jawa Timur.
Merasa tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan Angkatan Darat, Kolonel Bambang Supeno mengajak para Panglima Daerah menandatangani pernyataan menuntut presiden mengganti Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD karena menurut keyakinannya, kepemimpinan Kolonel A.H. Nasution telah menyimpang dari pembangunan Angkatan Darat.
Para Panglima Daerah tidak merespons ajakan Kolonel Bambang Supeno ini karena cara tersebut dapat berdampak pada terjadinya perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat. Kegagalan Kolonel Bambang Supeno dalam memengaruhi Panglima Daerah tidak mengendorkan semangatnya, apalagi memupusnya.
Kolonel Bambang Supeno mengajukan surat kepada Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Wilopo selaku perdana menteri, dan Presiden Sukarno, serta membuat tembusan kepada parlemen berisi permasalahan tersebut dan meminta agar Kolonel A.H. Nasution diganti sebagai KSAD dan penggantinya seorang tokoh dari Jawa Timur yang terkemuka bernama Kolonel Bambang Sugeng.
Surat Kolonel Bambang Supeno kemudian dimuat di koran-koran di Jakarta. Tindakan yang dilakukan Kolonel Bambang Supeno ini ternyata mendapat dukungan dari para perwira bekas PETA yang menjabat sebagai Kepala Intelijen Angkatan Perang, Kolonel Zulkifli Lubis.
Upaya Kolonel Bambang Supeno menghadap presiden ini mendapat tanggapan serius di kalangan pimpinan Angkatan Darat, sehingga pada 12 Juli 1952 para perwira AD seperti Jenderal Mayor T.B. Simatupang, Kolonel A.H. Nasution, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Kawilarang, Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel Sadikin, Letkol. Bahrun, Letkol. Kosasih, Letkol. Suprayogi, Letkol. Suprapto, Letkol Sutoko, Mayor Rukmiko, Mayor Subeno, Mayor Adjie, dan Mayor Murtono melakukan rapat di kediaman Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor T.B. Simatupang.
Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa tindakan Kolonel Bambang Supeno tidak dibenarkan karena menyalahi kode etik perwira. Puncak dari peristiwa ini adalah Angkatan Darat pada 17 Oktober 1952 melakukan pemberontakan kecil-kecilan kepada Presiden Sukarno dengan membawa tank-tank yang moncongnya diarahkan ke istana negara, kediaman Presiden Sukarno.
Kolonel AH Nasution dituduh terlibat dan diberhentikan dari jabatannya karena dianggap orang yang paling bertanggungjawab dalam peristiwa itu. Setelah polemik selesai dan Kolonel AH Nasution “dimaafkan” dia kemudian kembali menjabat sebagai KSAD sejak 31 Oktober 1955. Bagaimana dengan nasib Kolonel Bambang Supeno?
Artikel Terkait
Review Buku “The Gate to China” oleh Michael Sheridan: “The World According to China” oleh Elizabeth C Economy
Resensi Buku: Cara Hairus Salim Mengintip Indonesia
Sinopsis Novel 'Layangan Putus', Kisah Bapernya Mommy ASF yang Kini Viral
RESENSI BUKU: Hal-Hal yang Dibicarakan Ketika Raymond Carver Bicara Soal Cinta
Sagra: Dunia Warna-Warni Perempuan Ciptaan Oka Rusmini
Wow, Sangat Menarik Nih, Puisi 17 NKN dalam 5 Bahasa!
Pelisaurus dan Cerita Lainnya: Menertawakan Kegetiran Melalui Humor Segar Ala Gunawan Tri Atmodjo
Quo Vadis Pendidikan Kita?
Inilah Cara Suksesi di Kerajaan Mataram Islam mulai dari Ki Ageng Pemanahan hingga Terbelahnya Mataram Islam