Singkatnya, ada persoalan regulasi akuntansi di Kementerian Keuangan. Sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola kekayaan negara, BPK merekomendasi agar Kementerian Keuangan memperbaiki koordinasi dengan lembaga terkait, agar proses pendataan dan penyitaan aset-aset Yayasan Supersemar lebih cepat terlaksana.
Diduga, Penyitaan Aset Supersemar Klaim Bohong Kejaksaan
Aspek Hukum tentang Penyitaan Aset Yayasan Supersemar
Lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak.
Hal ini sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu "Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung."
Dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, aset tindak pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana.
Sehingga, jika kita merujuk pada KUHPer, UU No. 8 tahun 2010, dan UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001, maka terdapat beberapa istilah yang digunakan yaitu benda, barang, aset tindak pidana, dan harta kekayaan. Untuk penyederhanaan, idealnya merujuk ke pasal 39 KUHAP tentang kategori benda yang dapat disita, yang mencakup seluruh atau sebagian yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana atau yang biasa disebut sebagai aset.
Adapun mekanisme mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan untuk proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa;pengembalian aset melalui jalur pidana, pengembalian aset melalui jalur perdata, pengembalian aset melalui jalur administrasi atau politik.
Proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Kejagung sebagai aparat berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal dua mekanisme pengembalian aset, yaitu; pengembalian aset melalui pemidanaan, serta pengembalian aset tanpa pemidanaan atau secara sukarela, yaitu;
1. Penyitaan Tanpa Pemidanaan
Perampasan/ penyitaan aset tanpa pemidanaan adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang mana asetnya dapat dirampas oleh negara tanpa orang tersebut dijatuhi pidana penjara dan/atau denda
Mengenai perampasan aset tanpa pemidanaan, hal ini diterapkan di beberapa negara. Dalam artikel Perlunya Aturan Illicit Enrichment untuk Cegah Korupsi, Deputi Bidang Hukum Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yunus Husein mengatakan bahwa dalam penerapan illicit enrichment (IE) di Australia dan beberapa negara lain, perampasan aset dilakukan tanpa pemidanaan. Perampasan itu dikenakan terhadap aset yang tak dapat dibuktikan pelaku dengan pembuktian beban terbalik, tanpa dilakukan pemidanaan.
Pada dasarnya dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang dikenal adalah perampasan barang sebagai salah satu pidana (hukuman) tambahan sebagaimana disebut dalam Pasal 10 KUHP:
Ini artinya, perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak (perampasan aset) merupakan hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau benda.