Skandal Korupsi Supersemar: Penyitaan Aset yang Belum Kelar-kelar

photo author
- Senin, 4 Mei 2020 | 01:00 WIB
supersemaar
supersemaar


Jakarta,Klikanggaran.com - Perkara hukum Yayasan Supersemar sudah berlangsung cukup lama, terhitung sejak tumbangnya Orde Baru. Tapi kasus itu sampai sekarang belum kelar-kelar juga. Usaha negara untuk mengusut tuntas skandal korupsi dana beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa itu seperti berjalan di tempat. Walaupun putusan pengadilan sudah inkracht pada perkara perdata, namun tetap saja, upaya pengembalian aset dan uang negara baru sedikit yang bisa terlaksana.


Kalau kita telusuri sejarahnya,Yayasan Supersemar didirikan pada Mei 1974. Pada waktu itu Presiden Soeharto menginisiasi sebuah organisasi nirlaba yang ditujukan untuk membantu pendidikan bagi anak-anak di negeri ini lewat penyaluran dana beasiswa, yakni Yayasan Supersemar.


Pada tahun 1975  Yayasan Supersemar untuk pertamakalinya menyalurkan dana bantuan beasiswa. Tercatat sebanyak 3.135 orang mahasiswa dari perguruan tinggi negeri yang menerima beasiswa tersebut, nominalnya antara Rp12.500 hingga Rp.15.000 tiap mahasiswa per bulannya. 


Pada tahun 1976,  Yayasan Supersemar mulai membidik para siswa sekolah kejuruan untuk penyaluran beasiswa. Terhitung 667 orang siswa dari STM Negeri yang menerima besaran beasiswa dari Rp 5.500 hingga Rp 6.000.


Setelah Orde Baru tumbang pada 1998, Kejaksaan Agung (Kejagung) mencium adanya indikasi penyelewengan dana pada beberapa yayasan milik keluarga Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar. Maka, dibentuk Tim Invesigasi Kekayaan Soeharto yang diketuai Jaksa Agung saat itu, M.Ghalib. 


Pada tahun 1999, kroni krooni Soeharto mulai diperiksa. Tim dari Kejagung menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto terkait yayasan-yayasan yang dipimpinnya. Pemeriksaan pun dilakukan, termasuk kepada Siti Hardiyanti Rukmana, Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia, dan Deddy Darwis. 


Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, diantaranya PT Bank Duta sebesar US$420 juta, PT Sempati Air Rp13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp150 miliar.Akibat adanya dugaan penyelewengan ini, Negara mengajukan ganti rugi materiil US$420 juta dan Rp185 miliar serta ganti rugi immateriil sebesar Rp10 triliun.


Pada akhir maret 2000 Soeharto ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial. Namun dengan  alasan sakit, Soeharto mangkir dari panggilan Kejagung.Kejagung juga menyita beberapa aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto. Soeharto tidak pernah hadir dalam persidangan.


Pada akhirnya Soeharto wafat pada 27 Januari 2008. Dua bulan berselang, PN Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman kepada Yayasan Supersemar, yang diwakili oleh ahli waris Soeharto, untuk membayar kerugian negara sebesar Rp46 miliar. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.


Pada tahun 2010  MA memperkuat putusan PN Jaksel yang sebelumnya diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun terjadi salah ketik dalam penulisan putusan, yang seharusnya Rp185 miliar tertulis Rp185 juta. Alhasil, putusan tidak bisa segera dieksekusi.


Pada  tahun 2013, Kejagung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus penyelewengan dana Yayasan Supersemar ke MA. Tak mau kalah, Yayasan Supersemar juga melakukan tindakah hukum serupa. Namun  pada bulan Juli 2015, MA memenangkan PK Jaksa Kejagung, dan sebaliknya, menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa keluarga Soeharto diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp 4,4 triliun kepada negara. 


Sejak awal proses hukum berlangsung, Gedung Granadi sudah menjadi salah satu aset milik Yayasan Supersemar yang dituntut harus segera disita. Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 140 PK/Pdt/2015, disebutkan bahwa tim pengacara negara sempat meminta agar Gedung Granadi disita untuk menghindari penghilangan jejak aset-aset Yayasan Supersemar. Permintaan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun entah bagaimana, gedung tersebut sampai saat ini urung disita.


Karena tidak ada titik terang dalam penyelesaian piutang Yayasan Supersemar, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam LKPP 2018 menganggap eksekusi kasus hukum ini termasuk dalam kategori “Macet”. Macetnya upaya eksekusi aset milik Yayasan Supersemar ini berbahaya bagi pemasukan negara yang diperoleh dari upaya hukum yang sudah inkracht.“Terdapat potensi ketidakjelasan piutang dan pengelolaan aset sitaan dari piutang Yayasan Supersemar,” demikian isi petikan laporan BPK pada halaman 49.


Menurut BPK, salah satu penyebabnya karena belum ada penunjukkan eksekutor untuk menyelesaikan piutang, termasuk pengelolaan aset sitaan. Secara lebih spesifik, BPK Menyorot PMK No. 127/PMK.05/2018 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus, yang hanya menunjukk Direktoran Pengelolaan Kekayaan Negara Dan Sistem Imformasi (PKNSI) sebagai penyaji piutang. PKNSI tidak memiliki kewenangan eksekutor dan pengelolaan aset negara.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X