Ini Soal Naskah Akademik UU di Senayan

photo author
- Sabtu, 16 Desember 2017 | 13:13 WIB
images_berita_Nov17_Naskah
images_berita_Nov17_Naskah

Itulah pula deskripsi teknik sebagian kecil masalah ruwetnya proses pembuatan UU di Senayan. Wajar jika banyak nongol keanehan, ketidakwajaran, paradoksal, absurditas, dan illogic UU, bahkan kesalahan fatal ketika dilaksanakan.

Para legislator itu memang tak pernah diseleksi. Sekonyong-konyong saja usai Pemilu mereka ramai-ramai nongol di Senayan dengan julukan keren: wakil rakyat. Dan, hebatnya, sekonyong-konyong pula mereka dibaptis sebagai legislator -pembuat UU- tanpa kecuali. Padahal, di kampung sana, seumur-umurnya belum pernah bersintuhan dengan Ilmu Hukum, apalagi dengan mahluk Gesetzgebungs Wisensschaft. Nyaris mustahil pula mendidik mereka Gesetzgebungs Wisensschaft, karena sudah terlanjur disebut Pembuat UU dari sononya.

Kelemahan tak kalah serius, adalah kendala aspek kurikulum keilmuan hukum kita. Saya kutip adagium petitum Peter Noll: [3] Die Rechts Wissensschaft ist bis heute eine reine Rechts prechungs Wissensschaft Geblieben (Ilmu Hukum dewasa ini, hanya tinggal Ilmu Peradilan).

Dan, Schendelen menambahkan: Die Rechts Wetensschap heft zich te sterk geconcentreerd op de wetgevingsproducten en de rechtspraak. Deze brave juristenkijk, zoals van Schendelen het noemt, heft van derechts wetenschap een rechtspraak swetenschap gemaakt (Ilmu Hukum hanya mengonsentrasikan diri pada Peradilan dan produk Perundangan, bagaimana memakai produk Perundangan, bukan bagaimana membuatnya. Akibatnya, Ilmu Hukum hanya terkonsentrasi kepada Peradilan dan Pemerintahan, tak imbang dengan konsentrasinya ke Perundangan yang kian terpencil).

Derivasi lanjut, sulit menemukan legislator yang paham elaborasi Ilmu Peraturan Perundangan atau Gesetzgebungs Wisensschaft – dengan kata lain tak sekadar Legal Drafting - sekalipun saban hari bergelut dengan pekerjaan membuat UU di Senayan. Maklumi saja jika aturan main kita dalam bernegara amburadul dan tumpang tindih.

Sumber keterbelakangan pendidikan hukum kita dewasa ini pun, memberi sumbangan signifikan. Tengok saja kurikulum inti Program Pendidikan Sarjana Hukum dalam SK Dirjen Dikti No 30/DJ/Kep/1983, 27 April 1983 dan derivatnya -masih menitikberatkan pada kepentingan fungsi Peradilan dan Pemerintahan. Sedangkan fungsi Perundangan, nyaris terkucil. Akibatnya, legislator yang kesehariannya bercakap bikin UU di Senayan, cuma bisa gagap karena tak menguasai Ilmu Peraturan Perundangan.

Saya sangat tertarik dengan buku “Ilmu Perundangan - Dasar-Dasar Pembentukannya, karya Maria Farida Indrati Soeprapto, Asisten Almarhum Prof Dr Hamid Attamimi yang memberi banyak ilham kepada saya dalam memahami masalah keterkucilan Ilmu Peraturan Perundangan saya kutipkan.

Kisahnya, dari 12 mata kuliah Keahlian Hukum, seluruhnya menunjang fungsi Peradilan, tiga lainnya menunjang fungsi Pemerintahan. Kemudian, 19 mata Kuliah Pendalaman, 15 menunjang fungsi Peradilan, empat menunjang fungsi Pemerintahan.

Sementara itu, kegiatan Akademik Hukum hanya menunjang Program Studi Hukum dan Program Kekhususan yang dikelola Laboratorium, plus delapan mata kuliah - tiga di antaranya menunjang fungsi Peradilan, dua menunjang fungsi Perundangan, yakni Perencanaan Hukum dan Perancangan Hukum.

Jadi, karena kebutuhan pendidikan perundangan itu, maka sejumlah Fakultas Hukum menambah mata kuliah khusus perundangan, mengintegrasikannya ke mata kuliah Hukum Tata Negara II dan program Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Hukum. Tapi, sejauh itu materinya baru mencakup Teknik Perundangan dan Pembentukan Perundangan - tak cukup untuk kebutuhan ideal Ilmu Peraturan Perundangan.

Ilmu Peraturan Perundangan atau Gesetzgebungs Wisensschaft adalah ilmu baru yang berkembang di negara berbahasa Jerman, meluas ke Belanda dan sekitarnya. Di negara bersistem Common Law, Gesetzgebungs Wisensschaft tak subur.

Beberapa hasil studi mengemukakan alasan. Yaitu, karena sistem hukum kurang butuh perundangan selaku resources pembentuk hukum di sana, karena perundangan belum memerankan instrumen penting kebijakan negara dalam pengelolaan perubahan tatanan sosial. Jadi,Gesetzgebungs Wisensschaft tumbuh dalam bentuk sempalan, seperti Teknik Penyusunan UU, Interpretasi UU, dan Metodologi Pembentukan UU.

Tak syak lagi kalau Gesetzgebungs Wisensschaft adalah anak bungsu ilmu hukum. Lahir bersamaan dengan ilmu-ilmu politik modern, saudaranya sendiri sudah menjadi Grand Ma di akhir Renaissance. Jadi, sebagai ilmu hukum termuda, Gesetzgebungs Wisensschaft memiliki kelemahan disiplin, metodologi, terminologi, dan sampai akhir Perang Dunia I masih sengit didebatkan.

Puncak wacana itu, terakhir, para ahli sepakat untuk berdebat panjang mengenai satu hal saja: ”Apakah Gesetzgebungs Wisensschaft monodisiplin, multidisiplin, atau interdisiplin?”

Di antara pengemuka Gesetzgebungs Wisensschaft, pandangan Burkhardt Krems[4] dan Werner Maihofer[5] merupakan dalil terkuat, yang memulai argumen dari hasil kupasan mereka tentang hubungan kedudukan Gesetzgebungs Wisensschaft sebagai bagian-bagian arsitektur Ilmu Hukum.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kit Rose

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X