opini

Suara Perempuan: Manifesto Kemerdekaan dan Desakan Reformasi Hukum Atas Kekerasan

Senin, 24 November 2025 | 07:41 WIB
Kecantikan dalam Konteks Feminisme, Teori Marxis, dan Sosialisme: Telaah Cerpen Perempuan itu Pernah Cantik Karya Mashdar Zainal (Dok. Istimewa)

Contoh Kasus (KDRT dan Desakan Hukum): Kasus-kasus KDRT yang viral, di mana korban berjuang untuk mendapatkan keadilan, seringkali tersandung pada proses pembuktian yang berbelit atau hukuman pelaku yang ringan. Keadilan substantif hanya akan tercapai jika aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) menggunakan perspektif korban (victim-centered approach) dan tidak menggunakan mediasi untuk kejahatan berat.

2. Peran Vital Komunitas dan Keberanian Penyintas

Gerakan perempuan bukanlah gerakan tunggal, melainkan jaringan solidaritas. Ketika sistem gagal, komunitaslah yang menjadi jangkar.

Contoh Kasus (Gerakan Bersuara di Media Sosial): Munculnya gerakan seperti #MeToo secara global dan berbagai inisiatif di media sosial Indonesia telah membuka ruang bagi para penyintas untuk berbagi kisah. Keberanian seorang penyintas KDRT untuk bersuara di forum publik atau seorang korban pelecehan seksual di kampus untuk melapor, bukan hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga memberikan preseden dan energi bagi korban lain. Ini adalah bentuk kewarganegaraan aktif yang menuntut akuntabilitas institusi.

3. Transformasi Pendidikan dan Budaya Anti-Kekerasan

Siklus kekerasan tidak akan terputus tanpa menanggulangi akar patriarki. Pendidikan kesetaraan gender dan anti-kekerasan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum formal sejak dini, sebuah langkah yang juga direkomendasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Pernyataan kunci: Masyarakat harus beranjak dari praktik victim blaming (menyalahkan korban) menuju accountability seeking (menuntut pertanggungjawaban pelaku).

Penutup: Merdeka Bukan Pilihan, Tetapi Hak

Kemerdekaan perempuan dari kekerasan adalah indikator utama peradaban sebuah bangsa. Ketika perempuan merdeka, mereka dapat berpartisipasi penuh dalam ekonomi, politik, dan sains, yang pada akhirnya akan memperkuat struktur sosial secara keseluruhan.

Negara harus menjadikan perlindungan perempuan sebagai prioritas utama dengan menyediakan layanan terpadu (hukum, psikologis, medis), dan bukan sekadar retorika. Suara perempuan yang merdeka adalah sebuah keharusan yang harus kita dengar, dukung, dan realisasikan, demi terciptanya Indonesia yang adil dan beradab.

Artikel ini merupakan opini yang di tulis oleh Refina Nurohman, mahasiswi Universitas pamulang

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB