opini

Suara Perempuan: Manifesto Kemerdekaan dan Desakan Reformasi Hukum Atas Kekerasan

Senin, 24 November 2025 | 07:41 WIB
Kecantikan dalam Konteks Feminisme, Teori Marxis, dan Sosialisme: Telaah Cerpen Perempuan itu Pernah Cantik Karya Mashdar Zainal (Dok. Istimewa)


KLIKANGGARAN-- Kekerasan terhadap perempuan—sebuah noda sosial yang melampaui batas geografis, kelas, dan usia—telah lama menjadi bisul akut dalam tatanan masyarakat.

Narasi yang sering terdengar adalah jeritan dalam keheningan; luka yang tersembunyi di balik senyum profesional, dinding domestik, bahkan di ruang-ruang publik yang seharusnya aman.

Frasa "Suara perempuan merdeka dari kekerasan" bukan hanya sekadar aspirasi moral, melainkan sebuah desakan politik dan sosial yang menuntut perubahan struktural dan penegakan hukum yang revolusioner.

Kekerasan adalah Epidemik Struktural, Bukan Sekadar Kasus Individual

Perempuan modern menghadapi spektrum kekerasan yang kompleks dan berlapis. Bentuknya meluas dari kekerasan fisik dan seksual hingga kekerasan verbal, psikis, dan eksploitasi ekonomi.

Di Indonesia, data tahunan yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Catatan Tahunan (CATAHU) secara konsisten menunjukkan tingginya angka kasus, terutama di ranah privat (Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT) dan ranah siber.

Angka ini, yang mencakup ribuan laporan resmi setiap tahun, hanyalah puncak gunung es. Mayoritas korban memilih bungkam karena stigma sosial, victim blaming (penyalahan korban), dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.

Inti dari permasalahan ini adalah budaya patriarki yang menormalisasi dominasi laki-laki dan merendahkan nilai perempuan. Pola pikir inilah yang menyebabkan:

Imunitas Pelaku: Pelaku seringkali lolos dari jerat hukum karena konstruksi sosial yang melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai "masalah domestik" atau "konsekuensi" dari perilaku korban.

Kriminalisasi Korban: Kasus-kasus sering terdistorsi, di mana korban, alih-alih dilindungi, justru diintimidasi, diancam balik, atau bahkan dituntut atas dasar pencemaran nama baik, sebuah ironi hukum yang menyakitkan.

Sumber Referensi dan Contoh Kasus untuk Desakan Reformasi

Untuk mewujudkan kemerdekaan perempuan dari kekerasan, dibutuhkan intervensi yang kuat dari negara dan masyarakat sipil.

1. Penegakan Hukum yang Berpihak pada Korban

Landasan hukum telah diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kehadiran UU ini adalah momentum krusial yang harus diiringi dengan implementasi yang tegas.

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB