opini

Manusia di Era Kecerdasan Buatan: Menyambut Masa Depan, Bukan Takut Padanya

Jumat, 7 November 2025 | 07:04 WIB
Ilustrasi (Freepik)

KLIKANGGARAN --Bayangkan sebuah kota modern di mana robot berdiri di tengah kerumunan manusia bukan untuk menggantikan mereka, tapi untuk bekerja bersama. Pemandangan ini bukan lagi adegan fiksi ilmiah. Kecerdasan buatan, atau Artificial Intelligence (AI), kini telah menjadi bagian nyata dari kehidupan sehari-hari. Ia hadir di ponsel, di layanan pelanggan, di mesin pabrik, bahkan di ruang kelas.

Kehadiran AI membawa perubahan besar dalam cara kita bekerja dan berpikir. Ia mampu memproses jutaan data dalam waktu singkat, membuat keputusan otomatis, dan bahkan memprediksi perilaku manusia. Di industri, AI membantu mempercepat produksi dan menekan kesalahan. Di dunia jasa, ia melayani pelanggan tanpa lelah melalui chatbot dan sistem rekomendasi digital. Semua ini membuat hidup tampak lebih efisien namun juga menimbulkan satu pertanyaan besar: apakah manusia masih dibutuhkan?

Pertanyaan itu wajar muncul, sebab otomatisasi mulai mengambil alih banyak pekerjaan yang dulu diisi manusia. Operator pabrik, kasir, petugas tiket, dan call center konvensional kini digantikan oleh robot atau sistem digital. Bagi sebagian orang, ini menimbulkan kecemasan: bagaimana nasib tenaga kerja di masa depan?

Namun, jika menilik sejarah, setiap revolusi industri selalu diiringi dengan kekhawatiran serupa. Dulu, mesin uap dan komputer juga dianggap ancaman. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: muncul jenis pekerjaan baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. AI pun demikian ia tidak sekadar menghapus pekerjaan lama, melainkan mengubah bentuk dan cara kita bekerja.

Profesi baru bermunculan: pengembang AI, analis data, desainer teknologi, hingga pakar etika dan hukum digital. Dunia kerja kini menuntut manusia yang tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga mampu berpikir kritis, kreatif, dan berkolaborasi lintas bidang. Di sisi lain, pekerjaan yang membutuhkan empati dan sentuhan kemanusiaan seperti guru, perawat, atau konselor tetap tak tergantikan, bahkan semakin penting di tengah dominasi teknologi.

Kuncinya terletak pada kemampuan adaptasi. Dunia kerja di masa depan tidak akan stabil seperti dulu. Keterampilan yang relevan hari ini bisa jadi usang dalam beberapa tahun ke depan. Karena itu, pendidikan dan pelatihan harus berubah arah tidak lagi menekankan hafalan atau rutinitas, melainkan kemampuan berpikir kritis, komunikasi, literasi digital, dan pembelajaran sepanjang hayat.

Pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia industri perlu bekerja bersama menciptakan ekosistem pelatihan yang responsif. Seorang kasir yang kehilangan pekerjaan karena otomatisasi, misalnya, bisa dilatih menjadi pengelola data penjualan atau staf e-commerce. Dengan program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling), perubahan bisa menjadi peluang, bukan ancaman.

Namun, lebih dari sekadar kebijakan teknis, yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang. Kita tidak seharusnya melihat AI sebagai pesaing, melainkan sebagai mitra. AI bisa mengerjakan hal-hal yang berat, berulang, dan berisiko tinggi, sementara manusia fokus pada kreativitas, strategi, dan hubungan antar-manusia.

Di bidang kesehatan, misalnya, AI bisa menganalisis ribuan hasil radiologi dalam hitungan detik, tetapi keputusan dan empati tetap menjadi ranah dokter. Di dunia pendidikan, AI mampu menyesuaikan materi dengan kemampuan siswa, namun guru tetap berperan sebagai inspirator yang menyalakan semangat belajar.

Kecerdasan buatan memang membawa tantangan, tetapi juga membuka peluang besar bagi mereka yang siap. Yang berbahaya bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan ketidaksiapan manusia menghadapinya. Jika dikelola dengan bijak, AI akan menjadi katalis untuk menciptakan pekerjaan baru, meningkatkan efisiensi, dan memperluas potensi manusia.

Kita sedang berada di persimpangan penting sejarah. Apakah kita akan membiarkan teknologi mengendalikan arah hidup, atau justru memanfaatkannya untuk memperkaya kemanusiaan? Jawabannya ada pada cara kita bersikap hari ini: mau belajar, mau beradaptasi, dan mau berkolaborasi.

AI bukan akhir dari pekerjaan manusia justru awal dari babak baru peradaban di mana manusia dan mesin berjalan berdampingan, saling melengkapi, menuju masa depan yang lebih cerdas dan berperikemanusiaan.

Arikel ini sebuah opni yang ditulis oleh Zainudin, S.Kom., M.Kom

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB