Ironisnya, hari ini sebagian besar umat muslim masih saja melontarkan tuduhan negatif kepada Ibnu Sina daripada mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah beliau ciptakan.
Padahal, kalau memang seseorang orang itu membawa hal positif, mengapa tidak diambil saja, lalu buang negatifnya.
Urusan kafir atau tidak hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Neraka atau surga pun itu hak prerogatif Tuhan.
Di lain sisi, umat Islam sibuk mengglorifikasi Al Khawarizmi, tokoh penemu algoritma yang menjadi cikal-bakal teknologi digital di zaman ini.
Apalagi ketika isu boikot produk Israel dan Amerika berkembang.
Banyak orang yang mengatakan, “tanpa algoritma Al Khawarizmi, maka sosial media pun tidak akan ada.”
Di sini masalahnya. Umat Islam membanggakan algoritma Al Khawarizmi, tapi yang mengembangkan teknologi sampai luar biasa seperti sekarang adalah orang Barat.
Itu sama saja dengan terjebak dalam romantisme masa lampau.
Tidak ada gunanya. Toh dunia ini berjalan maju, bukan mundur. Kalau mau melawan, kembangkan saja ilmu yang telah beliau wariskan, jangan hanya bicara sejarah, sejarah, dan sejarah.
Pola yang sama juga terjadi dalam dunia sastra dan filsafat. Banyak umat Islam yang kerap mendiskreditkan filsafat dan sastra Barat hanya karena sentimen.
Memang betul filsafat dan sastra Timur itu bagus, lebih mendalam dan spiritual. Tapi percuma kalau sekadar diglorifikasi.
Kalau tidak percaya, sekarang coba pergi ke perpustakaan, lalu hitung, lebih banyak mana antara literatur Barat dan Islam?