KLIKANGGARAN -- Entah sudah berapa dasawarsa umat Islam mengalami impotensi dalam ilmu pengetahuan.
Lihat saja, dari sekian banyak pionir teknologi digital yang kita nikmati sekarang, hampir tidak ada ilmuwan Islam.
Begitu pula dengan teori dan metode yang biasa kita gunakan dalam karya ilmiah, sedikit sekali nama cendekiawan Muslim yang berderet di daftar pustaka, kecuali kajian yang berkaitan dengan Islam.
Apakah Islam tidak punya keintiman berpikir? Tentu tidak. Sejak dahulu para pemikir Islam sudah lekat dengan tradisi intelektual dan dialektika, kok.
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd, misalnya. Mereka bertengkar pikiran dengan amat sengit, sehingga bisa produktif melahirkan karya.
Itu baru satu contoh, masih banyak contoh-contoh lainnya.
Variabel kemandekan sains di dunia Islam sangat banyak. Tapi, yang saya lihat sejauh ini, penyebab paling fundamentalnya ada dua hal:
Pertama, orang Islam sering kali terlalu mudah mengkafirkan saudara seagama, dan kedua, umat muslim kerap berenang dalam romantisme masa lampau.
Ibnu Sina, misalnya, beliau itu sangat dihargai di dunia karena kecerdasannya. Beliau ahli filsafat, matematika, sains, dan terutama ilmu kedokteran.
Bahkan, orang-orang Barat pun mengakui kalau Avicenna adalah bapak ilmu kedokteran modern.
Namun, orang-orang Islam justru mengutuk Ibnu Sina kafir hanya karena beliau terlalu menggunakan pendekatan rasional dan saintifik.
Para ulama, apalagi Al Ghazali, sibuk sekali menghakimi akidah salah satu ilmuwan hebat Islam itu.