KLIKANGGARAN -- Jagat maya masih saja diramaikan dengan kasus kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kasus bullying atau perundungan di lembaga pendidikan tercatat sebanyak 23 kali selama periode Januari—September 2023. Paling banyak terjadi di tingkat SMP, yakni 50%, di peringkat kedua tingkat SD sebanyak 23%, disusul SMA 13,5%, dan SMK 13,5%.
Terbaru, kasus bullying terjadi di SMPN 2 Cimanggu, Cilacap, yang dilakukan oleh WS (14) dan MK (15) dengan korban FF (14) pada September lalu. Pada bulan yang sama, di Aceh Utara tiga remaja melakukan aksi bully dan pemukulan serta pemerasan terhadap anak di bawah umur. Kasus tersebut sempai ramai setelah video aksi pemukulan yang dilakukan RA (17), MA (15), dan TAI (16) terhadap korban MF beredar di media sosial.
Adapun motif dari dilakukannya perundungan ini beragam. Seperti yang terjadi di Balikpapan (29/9), MR (13) dan temannya, KD (13), melakukan aksi yang sama terhadap AA hanya karena AA mengirimkan pesan via Instagram kepada pacar MR yang terdapat kata-kata yang dianggap tidak pantas hingga membuat pacar MR melapor ke dirinya.
Memang benar bahwa negara telah membuat landasan hukum terhadap perundungan ini seperti yang tercatat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 Juta.
Selain itu, Assoc. Prof. Dr. Susanto, Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk periode 2017-2022, juga telah meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Gerakan ini akan diselenggarakan oleh Sang Juara untuk meminimalkan, bahkan menghentikan kejadian bullying. Seperti dikutip dari republika.co.id, Susanto menyampaikan, "Untuk mengatasi masalah serius ini, perlu ada peran lebih dari sekadar guru dan orang tua. Kepemimpinan pelajar dalam upaya mengatasi kasus bullying di sekolah dan madrasah sangat penting untuk meminimalkan bahkan menghentikan kejadian bullying," ujarnya. Namun, cukupkah ini menjadi solusi penuntasan kasus bullying yang masih kerap terjadi?
Akar Permasalahan
Perundungan yang semakin masif terjadi masih harus terus ditelusuri akar permasalahannya. Yang pertama datang dari permasalahan keluarga. Keluarga yang dibangun tidak berlandaskan pada agama tidak akan mampu mencapai derajat keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah. Keluarga yang tidak harmonis akan menjadi gerbang malapetaka yang akan menjerumuskan anak dalam jurang kemaksiatan, termasuk kriminalitas seperti perundungan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman dan tempat mendapatkan kasih sayang justru menjadi tempat lahirnya pelaku-pelaku perundungan. Peran orang tua dalam memberikan pemahaman kepada anak tentang bagaimana cara memperlakukan teman yang baik tidak didapatkan dari rumah. Belum lagi orang tua yang sering cekcok dalam pengasuhan ataupun permasalahan lainnya akan menstimulus anak untuk mencari perhatian di luar rumah, termasuk dengan cara melakukan penyimpangan seperti perundungan.
Kedua, faktor sekolah. Sekolah yang seharusnya berperan dalam mendidik karakter anak seakan kehilangan perannya. Padahal, sudah seharusnya pendidikan tidak hanya berperan dalam transfer of knowladge, tetapi juga transfer of caracter. Namun, pendidikan sekarang hanya berfokus pada penerapan kurikulum akademik dan abai terhadap agama sehingga peserta didik minim akhlaknya. Padahal, kita paham bahwa agama merupakan kunci seseorang dapat mengendalikan dirinya. Belum lagi kurangnya pengawasan dari pihak-pihak terkait di lingkungan sekolah juga menjadikan perundungan kian subur.
Terakhir, lingkungan dan media sosial. Lingkungan sekitar dan media sosial selalu jadi penentu pembentukan karakter anak. Lingkungan yang baik akan melahirkan generasi yang baik pula. Begitupun dengan media sosial. Istilah you are what you eat selalu tepat digunakan dalam hal ini. Informasi yang diterima dari media sosial akan membentuk pola pikir dan karakter seorang anak. Misalnya, game online yang sering menyuguhkan kekerasan fisik dan juga tontonan yang membudayakan kekerasan. Tidak jarang kekerasan verbal juga sering terjadi dalam game online. Herannya, bukannya membatasi penggunaannya, dengan alasan benefit ekonimi, keberadaan game online ini justru didukung oleh negara. Negara seolah abai terhadap akhlak anak bangsa dan lebih mengutamakan keuntungan materi. Tidak heran, hal ini terjadi karena negara tidak menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai landasan sehingga kebijakannya sering bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dari beberapa faktor tersebut dapat diketahui bahwa sesungguhnya akar permasalahan bullying yang semakin masif terjadi adalah masuknya pemahaman sekularisme dan liberalisme dalam diri anak. Pemahaman sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan akan melahirkan generasi yang tidak paham akan agamanya sendiri. Anak-anak dijauhkan dari agama sehingga terbentuk generasi yang perilakunya tidak terikat aturan dengan standar halal-haram ataupun pahala-dosa, melainkan mengikuti hawa nafsunya saja. Hidup jauh dari agama dan tidak mau terikat dengan aturan-aturan agama, bergaul semaunya, bertindak seenaknya, dengan asas liberalisme.
Sudah dapat dipastikan, jika pandangan hidup seseorang berlandaskan pada sekularisme dan liberalisme, seseorang pasti akan menjadi pribadi yang kehilangan arah dan tidak memahami tujuan hidup yang sebenarnya, yakni beribadah kepada Allah Ta’ala. Hidupnya hanya akan berorientasi pada keinginan semu duniawi dan mengejar pemuasan nafsu semata.
Islam Solusi Nyata
Hanya Islam yang dapat menyelesaikan permasalahan perundungan yang kompleks ini. Penerapan sistem Islam dalam sebuah negara akan melahirkan generasi yang berperilaku baik kepada sesama sesuai ajaran Islam dengan Rasulullah sebagai suri tauladan dengan kesempurnaan akhlaknya. Negara Islam akan bertanggung jawab penuh atas kondisi ketakwaan masyarakat. Pembatasan penggunaan media yang melahirkan generasi bobrok pun akan dilakukan oleh negara sekalipun dipandang mendatangkan keuntungan bagi negara. Para pelaku penyebar konten kekerasan ataupun pelaku perundungan akan diberi sanksi keras sebab keduanya telah melanggar syariat.
Selain itu, negara juga berperan untuk memberikan pelayanan pendidikan sesuai karakter Islam, yakni sesuai fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam dan mampu memahamkan setiap peserta didik akan tujuan hidupnya akan membentuk anak dengan pola pikir dan sikap yang berlandaskan Islam. Peserta didik yang berhasil dibentuk karakternya sesuai karakter Islam, bukannya saling merundung, mereka justru akan berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan dan juga saling menolong.
Adapun lingkungan keluarga yang mencetak generasi tangguh dan berkarakter Islam. Keluarga yang seperti ini hanya datang dari keluarga yang dibangun dengan landasan akidah Islam. Ibu sebagai madrasatul ula akan senantiasa mendampingi anak dalam memperoleh ilmu dasar agama yang baik dengan senantiasa mencurahkan kasih sayangnya. Begitupun ayah yang senantiasa menghadirkan perannya dan menjadi teladan bagi anak-anaknya akan melahirkan generasi yang dipenuhi kasih sayang sehingga ia tidak perlu lagi mencari perhatian di luar rumah.