Oleh karena itu, jika Putusan MK membuka ruang bagi jabatan publik yang tidak melalui pemilihan langsung, maka hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi.
Ini adalah bentuk konstitusionalisasi kekuasaan tanpa legitimasi rakyat. Lebih jauh, jika MK sendiri menafsirkan konstitusi secara lentur demi mendukung kebijakan tertentu, maka rakyat patut bertanya: siapa yang menjaga konstitusi, jika Mahkamah Konstitusi justru menjadi bagian dari masalah?
Dalam kondisi ini, penting bagi DPR dan Pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh, termasuk kemungkinan mendorong revisi terbatas atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, atau bahkan amandemen terbatas terhadap UUD 1945 jika diperlukan. Tentu dengan prinsip kehati-hatian, keterlibatan publik, dan transparansi penuh.
Apa pun langkah yang diambil, keputusan harus didasarkan pada prinsip akuntabilitas demokratis dan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat. Tidak boleh ada keputusan yang lahir dari tafsir hukum sempit yang justru menimbulkan luka konstitusi dan krisis kepercayaan publik.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, betapapun dimaksudkan sebagai solusi reformasi, justru berisiko menjadi masalah besar yang rumit, sulit, ruwet, dan bikin mumet. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam menyikapinya. Bukan hanya oleh DPR dan Pemerintah, tapi juga oleh seluruh elemen masyarakat sipil yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia.
Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Sugiyanto, pengamat social dan tinggal di Jakarta
DISCLAIMER: Isi artikel ini tidak mengekspresikan sikap dan pandangan redaksi klikanggaran
Artikel Terkait
Peran Kedisiplinan Bekerja Pada Generasi Muda di Era Modern
"Scaffolding: Tangga Menuju Pemahaman Belajar Siswa"
Matematika Diskrit: Seni Berpikir Logis yang Mengubah Cara Saya Memandang Angka
Kalkulus: Ketika Metode Pengajaran Menentukan Keberhasilan
Inovasi Pembelajaran Berbasis Digital, UNJ Libatkan Guru SMK L’PINA