Kehilangan Identitas Bahasa dalam Era Digital: Dampak Media Sosial terhadap Kemampuan Berbahasa Anak Muda

photo author
- Sabtu, 28 Juni 2025 | 21:04 WIB
ilustrasi (Istimewa)
ilustrasi (Istimewa)

KLIKANGGARAN -- Kehadiran media sosial seperti Instagram, TikTok, X (sebelumnya Twitter), WhatsApp, dan berbagai platform lainnya telah mengubah pola interaksi masyarakat modern, khususnya di kalangan generasi muda.

Media sosial kini menjadi sarana utama untuk bertukar informasi, berinteraksi, dan mengekspresikan diri. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan komunikasi yang ditawarkan oleh media sosial, muncul kekhawatiran yang semakin nyata: apakah fenomena ini berdampak pada kemampuan anak muda dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah identitas bahasa bangsa ini perlahan-lahan mulai terkikis?

Karakter media sosial yang mengutamakan kecepatan dan kepraktisan sering kali membuat penggunanya, terutama anak muda, cenderung menggunakan bahasa yang singkat, pencampuran antara bahasa Indonesia, bahasa asing (terutama bahasa Inggris), serta istilah-istilah gaul yang kerap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Ungkapan seperti "gpp" (nggak apa-apa), "bgt" (banget), "cmn" (cuma), atau kata-kata serapan seperti "cringe", "vibes", "insecure", telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Baca Juga: Soal Penunjukan Marketplace Sebagai Pemungut PPh, Begini Kata Kemenkeu

Fenomena ini dianggap sebagai bentuk kreativitas dalam berbahasa, namun jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang kuat terhadap bahasa Indonesia yang baku dan formal, hal ini berpotensi menurunkan kemampuan berbahasa generasi muda.

Dampak negatifnya mulai tampak di dunia pendidikan. Banyak guru dan dosen melaporkan bahwa pelajar dan mahasiswa mengalami kesulitan saat diminta membuat esai, laporan ilmiah, atau karya tulis akademik lainnya. Struktur kalimat yang tidak runtut, kurangnya penggunaan kata baku, serta lemahnya kemampuan menyusun paragraf yang logis menjadi masalah yang sering ditemui.

Kebiasaan berbahasa serampangan di media sosial, jika tidak diimbangi dengan latihan berbahasa yang benar, dapat merusak kemampuan berpikir kritis. Hal ini disebabkan karena bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat berpikir. Kemampuan menyusun kalimat yang jelas dan terstruktur mencerminkan kemampuan berpikir yang jernih dan terorganisasi.

Baca Juga: KPK Tangkap Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting Jadi Tersangka Suap Proyek Jalan Rp231 Miliar

Selain berdampak terhadap kemampuan teknis berbahasa, perubahan ini juga menyentuh aspek identitas budaya. Bahasa adalah salah satu unsur utama yang membentuk identitas suatu bangsa. Melalui bahasa, budaya, nilai-nilai, dan jati diri bangsa yang diwariskan dari generasi ke generasi. Jika generasi muda semakin jauh dari bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka bukan hanya kemampuan berbahasa yang terancam, tetapi juga identitas nasional.

Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah berkata, "Bahasa adalah identitas bangsa. Tanpa bahasa, manusia kehilangan identitasnya." Kutipan ini menggambarkan betapa pentingnya peran bahasa dalam menjaga keberlangsungan budaya dan jati diri bangsa.

Namun demikian, kita juga perlu memahami bahwa perkembangan bahasa adalah proses yang alamiah. Bahasa selalu berkembang mengikuti zaman, dipengaruhi oleh dinamika sosial, budaya, dan teknologi. Munculnya bahasa gaul, serapan asing, atau bentuk-bentuk baru dalam berbahasa adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Yang terpenting bukanlah menolak perubahan, melainkan membangun kesadaran untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan konteksnya.

Baca Juga: HUT ke-79 Bhayangkara, Jasrum: Semoga Polri Makin Profesional dan Terpercaya

Anak muda perlu dibekali kemampuan untuk memahami kapan penggunaan bahasa gaul diperbolehkan, misalnya dalam komunikasi informal di media sosial, dan kapan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus diterapkan, seperti dalam situasi akademik, profesional, dan kenegaraan.

Dalam hal ini, peran berbagai pihak menjadi sangat penting. Keluarga, guru, institusi pendidikan, serta masyarakat luas harus bersama-sama membimbing generasi muda agar tetap mencintai dan menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, media sosial sendiri sebenarnya dapat menjadi sarana yang positif untuk memperkuat kemampuan berbahasa.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ratih Sugianti

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X