Kondisi ini diperparah oleh semakin berkurangnya minat membaca buku di kalangan anak muda. Studi di beberapa sekolah menunjukkan bahwa anak-anak lebih tertarik menghabiskan waktu di media sosial ketimbang membaca buku.
Akibatnya, kemampuan ekspresif, baik lisan maupun tulisan, menjadi terbatas. Mereka terbiasa menjadi konsumen pasif dari konten yang pendek dan ringan, dan kurang terbiasa dengan struktur narasi yang panjang, mendalam, dan berbobot sebagaimana yang dibutuhkan dalam komunikasi akademik atau profesional.
Fenomena ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, media sosial menjadi lahan subur untuk ekspresi dan kreativitas linguistik, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi penyebab utama penurunan kualitas bahasa formal.
Oleh karena itu, penting adanya kesadaran dari seluruh elemen masyarakat—baik institusi pendidikan, pemerintah, maupun keluarga—untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap tata bahasa.
Baca Juga: Pawai Obor Remaja PRIMA dan IKRAP Sambut Tahun Baru Islam 1447 H Penuh Semangat dan Kebersamaan
Solusi yang dapat diterapkan antara lain adalah dengan mengintegrasikan literasi digital dan kebahasaan dalam kurikulum pendidikan. Anak-anak dan remaja perlu diberikan pemahaman tentang konteks penggunaan bahasa gaul dan kapan harus menggunakan bahasa baku.
Selain itu, para kreator konten dapat diajak bekerja sama dalam memproduksi konten edukatif yang menyenangkan, yang tidak hanya menarik dari segi visual tetapi juga kaya akan nilai kebahasaan.
Peran keluarga juga tidak bisa dikesampingkan. Orang tua perlu aktif mengawasi dan mendampingi anak dalam menggunakan media sosial agar penggunaannya tetap sehat dan edukatif.
Media sosial memang memiliki potensi besar untuk memperkaya kemampuan bahasa generasi muda. Namun, tanpa kontrol dan kesadaran, ia juga bisa menjadi alat yang mempercepat penurunan kualitas bahasa.
Kolaborasi antar pemangku kepentingan, mulai dari pendidik, pemerintah, hingga pengguna itu sendiri, sangat diperlukan agar media sosial menjadi alat yang memperkuat kemampuan bahasa, bukan sebaliknya.
Dengan upaya bersama, generasi muda Indonesia dapat terus berekspresi secara bebas namun tetap mempertahankan kualitas bahasa yang baik, benar, dan membanggakan.***
Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Hafiz Zikri Febrian (Mahasiswa Teknik Elektro UNPAM)
DISCLAIMER: Isi artikel ini merupakan tanggung jawab penuh penulis, dan tidak mengekspresikan kebijakan dan sikap redaksi Klikanggaran.com
Artikel Terkait
Bahasa Gaul: Bayang-bayang yang Mengancam Identitas Bahasa
Bahasa Gaul di Tengah Arus Perubahan Bahasa Indonesia
Bahasa Gaul: Tantangan Atau Peluang Untuk Bahasa Indonesia?
Menduniakan Bahasa Gaul: Transformasi Komunikasi Remaja Indonesia
Modernisasi atau Penjajahan Baru? Menelisik Dominasi Bahasa Asing di Indonesia
Luntur di Ujung Lidah: Krisis Minat Generasi Muda terhadap Bahasa Daerah