KLIKANGGARAN – Dalam laporannya, CNBC menyebutkan ada sekitar 6.000 insinyur di Microsoft yang dipecat secara global, bahkan data internal menyebut bahwa sebanyak 40% layoff di Washington menargetkan software engineer.
Ironisnya, para insinyur yang dipecat dari pekerjaannya tersebut justru digantikan oleh sistem kecerdasan buatan (AI) yang mereka ciptakan sendiri.
Peristiwa itu bukan sekadar kisah tragis dari industri teknologi. Lebih dari itu, peristiwa tersebut adalah potret nyata dari sebuah paradoks sosial modern: bagaimana ciptaan manusia bisa berbalik menjadi kekuatan yang menggusur penciptanya.
Peter L. Berger (1967) menjelaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui tiga proses utama: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya ke dalam dunia melalui penciptaan nilai, sistem, struktur sosial, dan dalam konteks ini—teknologi.
Para insinyur di Microsoft menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk menciptakan sistem AI yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Ini merupakan wujud dari kapasitas manusia untuk menciptakan dunia yang sebelumnya tidak ada.
Namun, setelah diciptakan, teknologi itu tidak tinggal sebagai alat bantu semata. Ia mengalami proses objektivasi, yakni ketika ciptaan manusia mulai dianggap sebagai kenyataan objektif yang berdiri sendiri, dengan logika dan kekuatan internalnya sendiri.
AI yang awalnya diciptakan sebagai alat untuk menunjang kerja, dalam praktiknya mulai menggantikan fungsi manusia. Dalam kasus ini, sistem yang dirancang untuk mendukung pekerjaan justru menjadi alasan utama pemutusan hubungan kerja para penciptanya.
Ciptaan itu berubah menjadi entitas otonom yang berkuasa atas penciptanya sendiri.
Lebih jauh lagi, proses internalisasi memperlihatkan bagaimana masyarakat mulai menerima keberadaan teknologi seperti AI sebagai bagian dari kehidupan normal.
Keputusan bisnis untuk menggantikan manusia dengan mesin bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang eksesif, melainkan sebagai keniscayaan dalam logika efisiensi kapitalistik. Realitas sosial yang baru terbentuk dan diterima, seakan-akan tidak ada alternatif lain yang lebih manusiawi.
Peter L. Berger dalam salah satu refleksinya menyatakan bahwa Tuhan tidak terikat oleh ciptaan-Nya, sedangkan manusia justru sering terperangkap dalam struktur yang diciptakannya sendiri.
Kasus ini menjadi gambaran konkret dari paradoks tersebut. Manusia menciptakan teknologi demi kemudahan dan efisiensi, namun di titik tertentu, ciptaan itu berkembang menjadi struktur sosial yang menundukkan manusia, bahkan menggantikan keberadaannya.
Fenomena pemecatan insinyur Microsoft oleh AI buatan mereka adalah bentuk kontemporer dari keterasingan manusia atas hasil ciptaannya sendiri. Di sinilah pentingnya kesadaran kritis dan tanggung jawab etis dalam setiap inovasi teknologi.
Kita tidak hanya menciptakan sistem, tetapi juga membentuk masa depan sosial yang akan kita tinggali. Tanpa refleksi dan kontrol yang manusiawi, teknologi bisa berubah menjadi kekuatan yang menggerus nilai-nilai dasar kemanusiaan itu sendiri.
Membaca fenomena ini melalui kerangka Berger tidak hanya menambah kedalaman pemahaman sosiologis, tetapi juga memperingatkan kita: bahwa teknologi tidak pernah netral.
Artikel Terkait
OPINI: Dokter Sang Predator, Pintar Tak Bermoral
Dua Bahasa, Satu Identitas: Literasi Bahasa Indonesia di Tengah Dominasi Asing
Pelajaran dari Cecep: Cleaner Masjid yang Diundang Haji oleh Kerajaan Arab Saudi
Vasektomi Orang Miskin atau Vasektomi Penyebab Kemiskinan?
Fenomena Bapa Aing: Antitesis Pemerintah Sebelumnya