KLIKANGGARAN -- Fenomena penggunaan bahasa campur Indonesia-Inggris, atau code-mixing, semakin marak terjadi, terutama di kalangan anak muda. Fenomena ini dianggap sebagai cara untuk menunjukkan identitas global dan kemampuan bahasa yang lebih luas.
Menurut Wardhaugh & Fuller (2021), code-mixing merupakan wujud kreativitas berbahasa, yang sering kali berfungsi untuk menutupi kekurangan kosakata pada salah satu bahasa.
Di Indonesia, penggunaan ini sering kali muncul di media sosial, periklanan, hingga lingkungan pendidikan, mencerminkan tren globalisasi. Namun, penggunaan bahasa campur ini tidak lepas dari kritik, terutama tentang pengaruhnya terhadap kemampuan literasi dalam bahasa Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah fenomena ini membawa lebih banyak manfaat atau tantangan bagi masyarakat Indonesia?
Penggunaan bahasa campur memiliki sisi positif yang tidak dapat diabaikan. Bahasa campur sering kali membantu individu mengekspresikan diri dengan lebih fleksibel dan dinamis dalam konteks tertentu.
Sebagai contoh, dalam dunia kerja, istilah dalam bahasa Inggris sering kali lebih efektif menggambarkan konsep tertentu yang belum memiliki padanan bahasa Indonesia (Gumperz, 1982).
Selain itu, bahasa campur juga memudahkan generasi muda untuk mengakses informasi global yang mayoritas disampaikan dalam bahasa Inggris (Khansa, 2022).
Namun, jika penggunaannya tidak diimbangi dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, hal ini dapat melemahkan identitas budaya bangsa. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dalam mempraktikkan bahasa campur.
Meski memiliki manfaat, fenomena ini memunculkan beberapa tantangan, terutama dalam aspek literasi. Berdasarkan penelitian oleh Verawati et al. (2023), generasi muda yang terlalu sering menggunakan bahasa campur cenderung memiliki kemampuan rendah dalam menulis dan memahami teks formal bahasa Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan berbahasa campur dapat memperburuk krisis literasi di Indonesia, yang saat ini menjadi perhatian serius. Data dari UNESCO menyebutkan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Oleh karena itu, penggunaan bahasa campur harus dipertimbangkan dengan lebih bijak agar tidak memperparah masalah literasi nasional.
Selain itu, bahasa campur berpotensi memperlebar kesenjangan sosial. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, tidak semua individu memiliki akses yang sama terhadap pembelajaran bahasa Inggris.
Individu dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah cenderung merasa terpinggirkan dalam percakapan yang melibatkan bahasa Inggris. Hal ini dapat menciptakan hambatan komunikasi di masyarakat, yang pada akhirnya berpotensi mengurangi kohesi sosial.
Dalam konteks ini, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus tetap dijaga penggunaannya. Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya sistematis dalam memperkuat pendidikan literasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa pendidikan bahasa Indonesia diberikan secara kontekstual, sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Artikel Terkait
Kronologi Neni Herlina Dipecat Sepihak Satryo Soemantri Brodjonegoro hingga Membuat Didemo Jajaran Kementeriannya
Livy Renata Diduga Sindir Deddy Corbuzier Setelah Mengkritik Siswa Penerima MBG, Ungkit Lagi Podcast Lawas dengan Catheez
Surat Edaran Pembelajaran Ramadan Siap Ditandatangani, Mendikdasmen Ungkap Termasuk Ada Aturan untuk Siswa Non Muslim
Ingar di Medsos Soal Makan Bergizi Gratis, dari Kecaman Deddy Corbuzier ke Siswa hingga Prabowo yang Justru Minta Maaf Gegara Ini
Apa Alasan Donald Trump Tarik Amerika Serikat dari WHO? Berikut Penjelasannya
Gaya ala Nazi Elon Musk di Pelantikan Donald Trump, Ternyata Pernah Minta Warga Jerman Pilih Partai Anti Imigran
Kronologi dan Alasan Livy Renata Trending di X, Apa Kaitannya dengan Deddy Corbuzier?
Krisis Literasi di Indonesia : Tantangan Digital dan Teknologi di Era Modern
Literasi Bahasa untuk Meningkatkan Martabat Bangsa
Indonesia Darurat Membaca: Literasi Jadi Solusi