Banyak Kata, Banyak Rezeki Atau Kegagalan Memahami?

photo author
- Selasa, 31 Desember 2024 | 20:39 WIB
Ilustrasi (Dok. Librarian's Life)
Ilustrasi (Dok. Librarian's Life)

KLIKANGGARAN -- Pernahkah kamu melihat kata “diskon” di sebuah toko baju lalu kamu membuka handphone melihat kata “diskon” di marketplace? Lantas apa perbedaannya, ternyata kata tersebut bukan sebuah perbedaan melainkan kata serapan, dimana kata “discount” merupakan kata dari bahasa inggris kemudian diserap dalam bahasa Indonesia menjadi kata “diskon” yang berarti potongan harga yang diberikan penjual kepada pembeli.

Mengapa hal itu terjadi? Karena masyarakat telah mengadopsi kata yang tidak memiliki kata pengganti, bertujuan untuk mengekspresikan dan memberikan pemahaman yang disebut kata serapan. Bahasa Indonesia sendiri mengambil atau menyerap kata dari berbagai bahasa-bahasa di dunia seperti bahasa Melayu, Belanda, Sansekerta, Inggris, dan lain-lain.

Hal tersebut tak luput dari penjajahan, perdagangan, agama, dan budaya. Sehingga ketika satu pihak mengutarakan kata dan dapat diterima masyarakat maka akan diserap dan memberikan tambahan kosakata baru. Contohnya seperti kata “Immigration” dalam Bahasa Inggris, diserap menjadi “imigrasi”, Kata “vaca” dari bahasa Sansekerta, diserap menjadi kata “baca” dan kata “bahasa” sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti “bahasa”.

Lantas apa pengaruh kata serapan apakah memberikan kekayaan kosa kata atau menodai kemurnian bahasa? Penggunaan kata yang berlebihan tentu akan memberikan kebingungan dan salah persepsi, contohnya seperti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kecewa” berarti perasaan tidak puas karena harapan, keinginan, atau sesuatu tidak bisa terwujud. Ada juga kata “frustasi" mengacu pada perasaan kecewa yang disertai dengan rasa tidak berdaya. Oleh karena itu perlukah kata serapan “frustasi” yang mana bahasa Indonesia memiliki padanan “kecewa”. Ada pula contoh kata serapan yang memiliki padanan seperti kata “support” diserap menjadi “dukung”, kata meeting diserap menjadi kata “rapat”, dan lain-lain.

Hal seperti itu memang membingungkan, terlebih lagi penyebaran informasi yang instan. Namun ketika kita tahu konteks dari penggunaanya kita dengan mudah menggunakan kata tersebut, juga kita harus mempertahankan dan menjaga kata asli sehingga ketika ada kata baru, kita harus mencari dahulu apakah sudah memiliki padanan dan jika belum sangat disarankan untuk menggunakan kata serapan, lebih baik lagi membuat kata baru.

Adanya kata serapan sebenarnya bentuk dari kreativitas manusia yang ingin mempermudah, namun di kegunaannya terkadang ada kata yang tidak diperlukan, maka pendidikan bahasa seharusnya mampu memberikan pembelajaran-pembelajaran penggunaan bahasa yang baik dan benar, sehingga menciptakan lingkungan kebahasan yang disiplin.

Penulis: Jamaludin Ismail Mahasiswa Teknik Elektro Unpam

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X