KLIKANGGARAN -- Sistem multi partai di Indonesia berakar dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketentuan ini dengan jelas menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem multi partai.
Namun, efektivitas sistem ini patut dipertanyakan. Apakah sistem presidensial multi partai ini masih layak dipertahankan dalam konteks demokrasi modern di Indonesia?
Menurut Prof. Juan J. Linz dalam bukunya Democracy: Presidential or Parliamentary, Does it Make a Difference?, sistem presidensial multi partai cenderung kurang berhasil dibandingkan sistem parlementer dalam menciptakan demokrasi yang stabil.
Hal ini diperkuat oleh kajian Mainwaring (2008), yang menunjukkan bahwa dari 31 negara yang menerapkan sistem presidensial multi partai, hanya empat yang berhasil menjadi negara demokrasi yang stabil.
Sementara itu, Amerika Serikat menjadi pengecualian karena menggunakan kombinasi sistem presidensial dan sistem dua partai.
Di Indonesia, sistem multi partai membawa tantangan tersendiri, termasuk tingginya biaya operasional partai politik.
Fenomena ini sering kali memicu praktik politik transaksional, di mana politisi yang terpilih justru lebih fokus memperkaya diri dan kelompoknya, alih-alih menjalankan amanat rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Ironisnya, sistem ini semakin jauh dari semangat demokrasi yang ideal.
Melihat perkembangan politik saat ini, di mana terbentuknya koalisi besar seperti KIM-Plus versus PDI-P secara tidak langsung menunjukkan adanya kecenderungan menuju sistem dua partai, sudah saatnya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 diamandemen.
Dengan hanya dua partai politik yang berkompetisi, pemerintah dapat lebih efektif, sementara beban subsidi negara terhadap partai politik menjadi lebih ringan.
Sistem dua partai juga berpotensi menciptakan demokrasi yang lebih sehat. Partai pemenang pemilu akan bertanggung jawab penuh sebagai penyelenggara pemerintahan, sementara partai yang kalah menjadi oposisi yang kuat.
Tidak ada lagi praktik "koalisi genit" di mana partai yang kalah justru merapat ke partai pemenang untuk meminta jatah kekuasaan.
Sistem "the winner takes all" perlu diterapkan secara konsisten demi terciptanya mekanisme check and balance yang sejati.
Artikel Terkait
Ragam bahasa daerah di Indonesia adalah salah satu cikal bakal Bhineka Tunggal Ika
Transformasi Perencanaan Pendidikan di Tengah Perubahan Sosial dan Teknologi
Refleksi Pribadi: Mengapa Sejarah Sastra, Kritik Sastra, dan Feminisme Penting Dipelajari?
Peng-Peng: Politik Uang dan Ancaman bagi Demokrasi
Menyemai Ikhtisar Sastra dan Bahasa Indonesia melalui Diseminasi Hasil PKM Dosen dan Mahasiswa Sastra Indonesia Unpam