KLIKANGGARAN -- Hasil riset terbaru dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa 61% anggota DPR periode 2024-2029 berlatar belakang sebagai pengusaha atau terafiliasi dengan bisnis, naik dari 55% pada periode sebelumnya.
Lonjakan ini memunculkan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia: potensi konflik kepentingan yang semakin menguat. Dalam sistem politik yang mahal, apakah mungkin mendahulukan kepentingan masyarakat tanpa mengorbankan kepentingan bisnis pribadi?
Politik di Indonesia telah berubah menjadi arena bisnis. Dengan biaya politik yang fantastis, banyak politisi cenderung mengadopsi mentalitas pebisnis: "modal kecil, untung besar."
Padahal, menjadi pejabat publik sejatinya adalah bentuk pengabdian, bukan ladang mencari keuntungan. Konsekuensinya, keputusan yang seharusnya berpihak pada rakyat kerap kali didikte oleh "balas budi" kepada pihak-pihak yang membiayai mereka, terutama oligarki yang telah menyusup ke dalam sistem politik.
Oligarki dan Politik Boneka
Partai politik yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi malah terjebak dalam pola pembiayaan mandiri yang tidak transparan. Akibatnya, para pemimpin partai sering kali harus "pontang-panting" mencari sumber dana, bahkan dengan cara-cara yang tidak etis.
Celah ini dimanfaatkan oleh oligarki untuk mendorong figur boneka tanpa rekam jejak yang jelas, hanya demi kepentingan pragmatis.
Fakta menunjukkan, sebagian besar penguasa sektor pertambangan, salah satu sektor paling menguntungkan di Indonesia, memiliki keterkaitan erat dengan politik.
Ironisnya, eksploitasi pertambangan kerap meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi mendatang.
Sistem ini menciptakan ekonomi ekstraktif yang padat modal tetapi minim menyerap tenaga kerja, jauh dari semangat keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
Solusi: Reformasi Sistem Politik
Untuk memutus mata rantai ini, biaya politik harus ditanggung oleh negara. Langkah ini akan membuka peluang bagi putra-putri bangsa yang berintegritas tetapi tidak memiliki modal besar untuk ikut dalam kontestasi politik.
Namun, pembiayaan oleh negara harus diimbangi dengan pengawasan ketat, termasuk audit keuangan partai politik oleh auditor independen.
Selain itu, pemerintah perlu memberi insentif bagi investor lokal untuk mengembangkan sektor-sektor produktif seperti smelter, industri pengolahan hasil laut, hortikultura, dan lainnya.
Artikel Terkait
Benarkah Bahasa Slang Merusak Identitas Bangsa?
Syndrome Kata “Kocak” pada Generasi Z
Mengenal Bahasa Gaul Gen Alpha: Rizz, Vibes, Sus, dan Drip yang Lagi Tren
Ragam bahasa daerah di Indonesia adalah salah satu cikal bakal Bhineka Tunggal Ika
Transformasi Perencanaan Pendidikan di Tengah Perubahan Sosial dan Teknologi
Refleksi Pribadi: Mengapa Sejarah Sastra, Kritik Sastra, dan Feminisme Penting Dipelajari?