Peng-Peng: Politik Uang dan Ancaman bagi Demokrasi

photo author
- Jumat, 20 Desember 2024 | 09:16 WIB
Yus Dharman, SH., MM., M.Kn (Dok)
Yus Dharman, SH., MM., M.Kn (Dok)

KLIKANGGARAN -- Hasil riset terbaru dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa 61% anggota DPR periode 2024-2029 berlatar belakang sebagai pengusaha atau terafiliasi dengan bisnis, naik dari 55% pada periode sebelumnya.

Lonjakan ini memunculkan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia: potensi konflik kepentingan yang semakin menguat. Dalam sistem politik yang mahal, apakah mungkin mendahulukan kepentingan masyarakat tanpa mengorbankan kepentingan bisnis pribadi?

Politik di Indonesia telah berubah menjadi arena bisnis. Dengan biaya politik yang fantastis, banyak politisi cenderung mengadopsi mentalitas pebisnis: "modal kecil, untung besar."

Padahal, menjadi pejabat publik sejatinya adalah bentuk pengabdian, bukan ladang mencari keuntungan. Konsekuensinya, keputusan yang seharusnya berpihak pada rakyat kerap kali didikte oleh "balas budi" kepada pihak-pihak yang membiayai mereka, terutama oligarki yang telah menyusup ke dalam sistem politik.

Oligarki dan Politik Boneka

Partai politik yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi malah terjebak dalam pola pembiayaan mandiri yang tidak transparan. Akibatnya, para pemimpin partai sering kali harus "pontang-panting" mencari sumber dana, bahkan dengan cara-cara yang tidak etis.

Celah ini dimanfaatkan oleh oligarki untuk mendorong figur boneka tanpa rekam jejak yang jelas, hanya demi kepentingan pragmatis.

Fakta menunjukkan, sebagian besar penguasa sektor pertambangan, salah satu sektor paling menguntungkan di Indonesia, memiliki keterkaitan erat dengan politik.

Ironisnya, eksploitasi pertambangan kerap meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi mendatang.

Sistem ini menciptakan ekonomi ekstraktif yang padat modal tetapi minim menyerap tenaga kerja, jauh dari semangat keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.

Solusi: Reformasi Sistem Politik

Untuk memutus mata rantai ini, biaya politik harus ditanggung oleh negara. Langkah ini akan membuka peluang bagi putra-putri bangsa yang berintegritas tetapi tidak memiliki modal besar untuk ikut dalam kontestasi politik.

Namun, pembiayaan oleh negara harus diimbangi dengan pengawasan ketat, termasuk audit keuangan partai politik oleh auditor independen.

Selain itu, pemerintah perlu memberi insentif bagi investor lokal untuk mengembangkan sektor-sektor produktif seperti smelter, industri pengolahan hasil laut, hortikultura, dan lainnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X