Driver Ojol Lebaran Tanpa THR, Bagaimana Negara Berperan?

photo author
- Minggu, 7 April 2024 | 09:50 WIB
Gambar hanya ilustrasi (Pixabay/mrthoif0)
Gambar hanya ilustrasi (Pixabay/mrthoif0)

Hal ini jelas berbeda dengan pemahaman Islam. Dalam Islam, kaum buruh tidak harus dianggap sebagai beban biaya produksi atau faktor pengeluaran karena hal itu akan merendahkan derajat manusia sebagai wakil Allah di atas bumi.

Seorang buruh yang menjual tenaganya untuk mendapatkan imbalan upah, sejatinya, dia menjual sebagaian dari apa yang dimilikinya, dan bukan menjual dirinya. Maka dari itu, tidak semestinya buruh dianggap sebagai beban perusahaan untuk tercapainya keuntungan yang lebih besar.

Islam melihat pekerja/ buruh merupakan makhluk Allah Taala yang sama dengan manusia lainnya. Islam juga memandang pekerja/ buruh sebagai saudara yang harus diperlakukan sebaik mungkin oleh pemberi kerja.

Ada hubungan tolong-menolong (ta’awun) di sini, yakni pekerja menolong pemberi kerja untuk memproduksi barang atau jasa, sedangkan pemberi kerja menolong pekerja dengan memberi upah yang layak dan tepat pada waktunya. Keduanya saling bekerja sama untuk memberikan kebaikan sehingga hasilnya adalah saling rida.

Dalam Islam, pemberi kerja diharuskan untuk tidak memberikan beban kerja yang melebihi batas kemampuan pekerja. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Syu’aib as. terhadap Nabi Musa as. yang bekerja padanya sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an pada surah al-Qashash ayat 27,

“.... Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Selain itu, pemberi kerja juga wajib membayar upah pekerjanya. Pembayaran upah wajib disegerakan setelah selesainya pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah, sahih).

Dalam Islam, pekerja dan pemberi kerja harus membuat akad terkait pekerjaan, termasuk upah yang diberikan. Keduanya harus sepakat dengan saling rida atas akad tersebut sehingga tidak ada pihak yang terzalimi. Oleh karenanya, ada tidaknya THR bagi pekerja tergantung pada isi akad tersebut. Adapun, dalam pelaksanaannya, kedua belah pihak wajib memenuhi akad, seperti pekerja wajib bekerja sesuai dengan tugas pokoknya, sedangkan pemberi kerja wajib memberikan hak pekerja. Jika ada sengketa di antara keduanya, negara berperan untuk menyelesaikan.

Peran Negara dalam Menyejahterakan Masyarakat

Salah satu peran negara dalam sistem Islam adalah riayah syu’unil ummah (mengurusi urusan rakyat). Tugas ini bukanlah tugas perusahaan. Hal ini disebabkan oleh hubungan pekerja dan pemberi kerja hanyalah sebatas hubungan kerja atau hubungan pengupahan.

Satu pihak wajib bekerja, pihak lain wajib mengupah. Adapun, untuk persoalan kesejahteraan, seperti jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan, bukanlah tanggung jawab perusahaan, melainkan merupakan tanggung jawab negara (pemerintah).

Hal ini tentunya harus menjadi perhatian negara saat mengeluarkan kebijakan sebagaimana halnya dengan ketentuan peneriman THR Keagamaan. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan akibat kesalahan dalam membuat kebijakan.

Masalah seperti ini selalu saja muncul saat pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam mengurusi rakyat. Salah satu contohnya adalah yang dialami oleh para pekerja di negeri kita saat ini.

Negara berlepas tangan dalam menyediakan kebutuhan primer warga sehingga rakyat harus membeli semua layanan negara dengan harga mahal. Akibatnya, perusahaan dituntut untuk memberikan kesejahteraan bagi pekerja, salah satunya adalah melalui pemberian THR.

Hal demikian tentu tidak ditemukan dalam Daulah Khilafah yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Pemimpin dalam negara Khilafah akan menjalankan perannya sebagai pengurus bagi rakyatnya (ra’in ‘an ra’iyatihi) dengan sangat baik.

Segala pemenuhan kebutuhan umat akan menjadi prioritas negara sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid yang selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat sesuai dengan syariat Islam berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits. Kemajuan ekonomi bersumber dari pendapata Negara yang berasal dari zakat, pajak bumi, harta rampasan perang, dan uang tebusan.

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Beras Langka, Salah Siapa?

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X