Ini Persepsi Gen Z tentang Film Dokumenter Dirty Vote

photo author
- Selasa, 13 Februari 2024 | 19:15 WIB
Debat Capres-Cawapres Pemilu 2024 (Instagram TVRI)
Debat Capres-Cawapres Pemilu 2024 (Instagram TVRI)

KLIKANGGARAN -- Dirty Vote Documenter dirilis pada 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube PSHK Indonesia. Sebuah film dokumenter yang dibintangi tiga orang ahli hukum tata negara yang membahas tentang dugaan penyimpangan yang terjadi pada pemilu Presiden 2024.

Sebagai generasi Z, menurut saya, film Dirty Vote documenter sangat bermanfaat. Kita bisa melihat dari sudut pandang para ahli hukum tata negara dan juga bukti-bukti yang disampaikan. Film ini sangat membantu kita melihat rekam jejak para ketiga capres dan cawapres, sehingga dapat menghindari orang terburuk memimpin negeri ini.

Pada film ini, ahli hukum tata negara menjelaskan “apakah pilpres Indonesia 2024 akan 1 putaran?” Feri Amsari menjawab pertanyaan tersebut “Tidak mudah, bagi seorang calon presiden memenangkan 50% suara dalam 1 putaran pemilu, bukan faktor tunggal.”

Feri juga menjelaskan pentingnya sebaran wilayah dengan memberi contoh pemilu 2016 Amerika Serikat, yaitu Hillary Clinton dan Donald Trump, di mana Clinton lebih unggul dalam hasil suara tapi Trump memiliki sebaran wilayah yang lebih banyak sehingga pemilu tersebut dimenangkan oleh Trump.

Baca Juga: Tamara Tyasmara Akui Survei Kolam Renang untuk Dante Bersama YA, Polisi Dalami Kemungkinan Tersangka Lain

Saya lebih paham bahwa sebenarnya memenangkan pemilu dengan 1 kali putaran itu tidak hanya 50% + 1% melainkan ada aspek yang harus di penuhi yaitu menang di sebaran wilayah sebanyak 20 provinsi dengan 20% suara minimum.

Hasil suara bukan faktor tunggal, sehingga banyak para pejabat yang tidak netral. Mulai dari kepala daerah hingga para menteri, pada film ditayangkan contoh dari ketidaknetralan tersebut. Segala cara mereka lakukan demi kemulusan kepentingan kelompok tertentu, Masyarakat menengah yang dijadikan tumbal demi kepuasaan dan kekuasaan mereka.

Menggelontorkan bansos lebih besar dari pandemi dengan secara terang-terangan meminta Masyarakat untuk memilih penerus Jokowi, itukah yang dinamakan netral? Pada film juga menanyakan apakah para Menteri yang ikut berkampanye tapi tidak terdaftar sebagai tim kampanye paslon yang di dukung sedang cuti atau tidak.

Selain Menteri, ada pertanyaan yang muncul “Apakah presiden harus netral?” Bivitri Susanti menjawab pertanyaan tersebut “Kita tentu saja harus berpegang pada undang-undang pemilu, undang-undang 7 tahun 2017. Dikatakan disitu, memang presiden boleh berkampanye tapi kita harus membaca undang-undang secara utuh dan lengkap.” Kesimpulan dari penjelasan Bivitri ialah presiden boleh berkampanye tapi ada syarat yang ketat sehingga tidak bisa sembarangan dilakukan.

Selanjutnya yang menjadi perhatian dan menarik untuk di ketahui adalah ketok palu mahkamah konstitusi. Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti mengatakan puncak dari permasalahan yang terjadi ada di Mahkamah Konstitusi, banyak hal yang dipaksakan untuk dapat meloloskan anak presiden tersebut.

Ketiga ahli menjelaskan alur terjadinya Gibran menjadi cawapres, salah satunya permohonan gugatan Almaz, hasil putusan MK yang tidak sesuai dengan permohonan Almaz di mana permohonan Almaz “Berpengalaman sebagai…” dan hasil putusannya “Pernah/sedang menduduki jabatan…” dari sini bisa dilihat keterpaksaan hasil putusan untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres. Dari kejadian Mahkamah Konstitusi ini, media massa nasional menyebut Gibran sebagai “Anak Haram Konstitusi.”

Itulah beberapa hal yang menarik bagi saya sebagai generasi Z, Dirty vote documenter adalah rangkuman dari penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi pada pemilu 2024.

Setelah ditayangkan film ini banyak sekali pro dan kontra yang saya temui di sosial media, mereka ada yang menjadi terbuka pemikirannya dan ada yang tersinggung dengan penjelasan para akademisi tersebut. Lalu timbul banyak pertanyaan yang saya temui, ada 2 yang ingin saya berikan pendapat.

1.Apakah film ini netral?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X