Dadaku hampir meledak menahan rindu pada Rimba. Sakit sekali. Maka kutemui Tante Sanur untuk menghiburnya. Sekali lagi, juga menghibur hatiku sendiri.
“Maafkan Rimba, Tante. Dia sudah mencoba. Kecelakaan itu tidak kami sengaja,” kataku setelah kami selesai makan.
“Jangan katakan itu, Sayang. Mama mengerti.”
“Rimba sayang Tante, makanya dia berjuang untuk berhenti dan bebas dari obat-obatan itu.”
Perempuan itu segera memelukku erat. Memintaku untuk tidak lagi bersedih, padahal air matanya sendiri terus mengalir. Kami berbincang sampai larut, kukatakan padanya betapa Rimba mencintainya. Kukatakan juga dalam hatiku, aku juga masih mencintai Rimba. Kami menangis bersama, tertawa bersama walau tawa kami terasa hambar.
“Maukah kamu memanggilku Mama?” tanya Tante Sanur sebelum kami meninggalkan restoran.
Baca Juga: Rp26 Miliar Piutang Pertamina Patra Niaga Tidak Tertagih, Berpotensi Merugi!
Tentu saja itu adalah hal yang mengejutkan. Aku tak tahu apakah bahagia atau sedih mendengarnya. Aku hanya sanggup mengangguk dan tersenyum. Napasku sesak melihat sinar kehilangan di mata wanita itu. Sepedih yang kurasakan saat kedua orangtuaku meninggal dalam kecelakaan mobil sepuluh tahun lalu.
Aku sungguh telah merasakan hari penuh air mata setelah itu. Tiap saat aku bertanya pada angin, apa sebenarnya yang diinginkan Tuhan? Kenapa aku menjadi anak tunggal, lalu menjadi anak yatim piatu? Tentu saja angin diam, menemaniku menapaki hari dengan limbung.
Sampai kemudian aku bertemu Rimba, menjalani hari-hari bersamanya, mengisi hari dengan tawa, lalu berjuang menariknya dari jalan yang salah. Dan, Tuhan mengambilnya. Perjalanan cinta kasihku dengan orang tua selesai pada satu halaman. Demikian juga dengan perjalanan cintaku bersama Rimba. Jerat cinta menghitamkan kelopak cintaku yang telah hitam.
*
Baca Juga: Mi Instan Tidak Hanya Jawara di Hati Anak Kos, tapi Juga Jawara di Dunia Internasional
Aku duduk gelisah di ruang tamu mewah itu. Bibi yang sudah kukenal akrab di rumah itu menyajikan minuman dingin untukku. Seperti biasa, senyumnya sopan dan hangat, dengan santun menggangguk padaku dan segera berlalu meninggalkanku sendiri.
Hari ini secara khusus Mama mengirimkan sopirnya untuk menjemputku ke tempat kost. Kedatangan Pak Ahmad, di pagi buta membuat pikiranku sedikit gelisah. Buru-buru aku mempersiapkan diri.
Ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu, Sayang.