"Siapa yang mau sama anak pemalas kayak gitu. Malas bantu ibunya, malas kuliah, malas shalat pula!"
Samudra tertunduk penuh sesal mendengar pembicaran itu. Semua yang dikatakan ibu-ibu itu benar adanya. Kalau sudah begini, apa yang bisa diperbuatnya? Dilihatnya sang pujaan hati juga ikut menangis pilu di samping jenazahnya. Tak dipedulikannya pandangan para pelayat lain yang terheran-heran, siapa gerangan gadis tak dikenal yang sedang menangis di depan jenazah Samudra?
"Eh, itu si Ratna datang juga melayat," bisik salah satu teman kuliah Samudra di ujung ruangan.
"Iya. Kasihan ya, belum sempat pacaran sudah ditinggal," balas teman yang lain.
"Padahal sebenarnya mereka sama-sama saling cinta."
"Samudra memang nggak pernah serius orangnya. Meremehkan segala persoalan. Dasar gemblung!"
Baca Juga: Gunung Semeru Meletus, Jokowi: Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi
"Kemaren Samudra dipanggil Pak Saman untuk ujian ulang juga nggak ngreken. Nilainya amburadul semua, tuh anak."
"Gimana mau dapat nilai bagus, lha wong kuliah saja jarang masuk."
Samudra berlari, lalu berteriak di balik pintu, "Ya Tuhanku, aku belum menyelesaikan urusanku dengan pujaan hatiku, kenapa aku sudah berada di garis pengadilan-Mu?"
Tangannya terulur hendak membelai rambut sang kekasih, tapi tak sampai.
"Bahkan aku belum mengatakan cinta padanya." Bibir Samudra bergetar, mendesis penuh sesal.
Dilihatnya sang ibunda pucat pasi menahan diri agar tidak pingsan di sisi kepalanya. Bahunya berguncang pelan menyembunyikan isak. Jemarinya gemetar mengelus bagian kepala Samudra yang masih terbuka.
"Yang sabar ya, Murni," hibur seorang pelayat sambil mengelus tangannya.
"Yang aku sesalkan, Samudra belum sempat memperbaiki shalat dan ibadahnya yang lain, tapi sudah keburu dipanggil," jawab Murni.