Keduanya menunduk, menekuni jemari masing-masing yang bertalian tak tentu arah, dengan keringat dingin yang tipis-tipis membuat permukaan kulit menjadi licin dan dingin.
Keduanya lalu saling melihat, masih tanpa kata-kata, masih dengan degup jantung yang berlomba mengejar ketertinggalan.
“Minggu depan,” kata si lelaki, “apakah bisa?”
Si perempuan mengangguk, lalu menyahut, “Minggu depan, dan minggu-minggu setelahnya. Masih ada tiga sesi lagi.”
“Paling tidak, kita bisa bertemu lagi sebanyak tiga kali.”
Dahi si perempuan berkerut-kerut. “Mengapa hanya tiga kali?”
Giliran si lelaki yang kebingungan. “Memangnya …?”
Ibu si perempuan memanggil. Wanita itu sudah selesai dengan urusan resep putrinya.
“Kita harus sembuh. Kita akan sembuh,” kata si perempuan. “Di pertemuan kedua nanti, aku akan memberi nomor teleponku. Tetaplah di sini sampai aku datang.”
Lalu, si perempuan pergi bersama ibunya. Tinggallah si lelaki mematung. Namun, dalam benaknya ia sudah siap dengan pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan selamanya.***