Mobil merah menyala terparkir dengan rapi di depan kedai, Gading dan Ratih turun bersamaan. Memasuki kedai, melihat seputar ruangan, tanpa kesepakatan terencana keduanya berjalan menuju meja dan dua buah kursi kosong di sudut ruangan kedai kopi.
Ratih duduk masih dengan sikap acuh, sementara Gading memesan dua cangkir kopi hitam pada pelayan yang dengan sigap menghampiri keduanya.
Aroma kopi menguar di udara, menyelimuti ruangan kedai dengan harumnya. Setelah keduanya duduk, Gading menatap Ratih dan tersenyum.
“Nah, kita lanjutin ya, ngobrolnya.”
Ratih diam, menatap kesibukan para pelayan.
"Kamu tadi masih bilang mencintaiku."
“Lalu?”
Baca Juga: Bicara Kopi, Seperti Apa Kopi Bagus dan Jelek?
“Iya, kamu egois karena memaksaku untuk melakukan yang nggak bisa kulakukan.”
"Pasang telingamu baik-baik. Aku mencintaimu. Itu saja. Nggak ada yang maksa dan dipaksa."
"Nah, kan?"
"Apa?"
"Bukannya itu maksa namanya?"
"Aku nggak ngerti sikapku mana yang maksa."