“Pada tanggal 18 September 2014, perusahaan melalui PINS melakukan pembelian 25% saham kepemilikan di Tiphone senilai Rp1,395 triliun. MANAJEMEN TELAH MENGAKUI PENURUNAN NILAI PENUH ATAS INVESTASI PADA TIPHONE MENGINGAT KERAGUAN ATAS KELANGSUNGAN BISNIS, KONDISI KEUANGAN DAN PENANGGUHAN SAHAM YANG BERLAKU EFEKTIF 10 JUNI 2020.” (Sumber: Laporan Keuangan Telkom 2020, Hlm. 62).
Sekarang mana duit Rp1,395 triliun yang dulu digembar-gemborkan akan berbuah manis? Dulu sama juga, berbunga-bunga ketika merayu. Akhirnya jadi perkara (ada di tingkat penyelidikan KPK setelah berkasnya diambil alih dari Kejaksaan Agung). Mari kita tagih utang KPK usut kasus ini. Kalau tidak sanggup, kita sewa ‘KPK’ dari planet Pluto saja.
Atau sudah lupakah temuan Fraud Control Plan KPK-BPKP tahun 2015 dalam perkara tukar guling saham Mitratel (anak usaha Telkom) dan PT Tower Bersama Infrastructure/TBIG yang diduga merugikan negara Rp26 triliun? Mana kelanjutan pengusutannya? Orangnya malah jadi menteri pula.
Tapi perusahaan besar seperti Astra, AIA, Google dll juga berinvestasi di Gojek? Ya, terserah saja. Itu uang mereka sendiri, bukan uang BUMN/negara. Lagi pula mereka toh jualan. Memangnya 2 juta mitra pengemudi itu beli unitnya di pasar rumput, beli asuransinya di toko kelontong, pakai leasingnya di toko kain?
Mari sudahi ‘dagelan’ boneka Rusia ala Ponzi ini. Kembali ke bisnis yang wajar. Hargai proses dan ketekunan. Jangan kelabui masyarakat dengan tiupan balon udara. Selama tidak ada yang menunjukkan laporan kas keuangan yang sah atau melihat sendiri berapa asetnya ketika pailit, kita semua masih menduga-duga besar-kecilnya skala usaha. Masih dalam fase permainan persepsi belaka.
Jangan sesumbar too big to fail. Jangankan Gojek, Telkom pun bisa tumbang, negara ini bisa tumbang, dunia ini bisa runtuh, kok.
Dalam bisnis start-up, lihat laporan CBInsights yang dirilis beberapa hari lalu.
Quibi yang dapat funding US$1,75 miliar dari Goldman Sachs, NBC Universal, JPMorgan Chase, mampus; LeSports US$1,7 miliar dari HNA Capital, Caissa Travel, Zhongtai Securities, Fortune Link, hancur; Arrivo, US$1 miliar dari Plug and Play Ventures dan Trucks VC, selesai; eToys yang bahkan sudah listing di Nasdaq dan dapat US$166,4 juta, juga tutup warung.
Hasil riset menunjukkan selain karena ngos-ngosan keuangan dan pengelolaan perusahaannya pe-ak, penyebab kehancuran suatu perusahaan yang justru penting dan dramatis ada 4, yaitu: 1) pandemi; 2) financial fraud; 3) perkara hukum; 4) pendiri/pengurusnya kriminal.
So, bisa dibayangkan apa jadinya kalau aksi korporasi BUMN diwarnai motif ambisi politik dan bagi-bagi fulus antarelite semata.