JAKARTA, Klikanggaran--Pandemi covid-19 di Indonesia sudah hampir memasuki masa satu tahun. Sampai Februari 2021 pandemi belum dapat di kendalikan, sampai hari ini kasus covid-19 di Indonesia masih tinggi, meski angka kesembuhan jauh lebih tinggi dibandingkan angka kematian pasien covid-19. Karena masih tingginya kasus covid-19, sebagian besar daerah memutuskan menunda sekolah tatap muka dan memilih memperpanjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pandemik berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah dan pernikahan anak.
Pertama, Tingginya angka pengaduan orangtua siswa karena kesulitan membayar SPP di Berbagai Daerah
Selama pandemic covid-19, mulai Juni s.d. Februari 2021, KPAI menerima pengaduan terkait masalah pembayaran SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) pada masa pandemic, terutama di sekolah-sekolah swasta. Kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat sebagai pengawas dan Pembina sekolah-sekolah negeri maupun sekolah-sekolah swasta.
Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) dan masalah tunggakan SPP, mulai dari tunggakan 3 bulan sampai 10 bulan. Pengaduan meliputi jenjang PAUD sampai SMA/SMK, baik sekolah negeri maupun swasta, tetapi yang terbanyak sekolah swasta.
Pengaduan berasal dari 8 Provinsi yaitu DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan); Jawa Barat (Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Cirebon); Jawa Tengah (Kota Surakarta dan Kabupaten Temanggung); Banten (Kota Tangerang dan Kota Tangsel); Lampung (Bandar Bandung); Sumatera Utara (Kota Medan); Sulawesi Selatan (Kota Makassar); Bali (Kota Denpasar); dan Provinsi Riau (Kota Pekanbaru).
Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta (45,2%); Jawa Barat (22,58%); Banten (9,67%); Jawa Tengah (6,45%); Lampung (3,22%); Sumatera Utara (3,22%), Sulawesi Selatan (3,22%); Riau (3,22%); dan Bali (3,22%). Sebagian besar kasus diselesaikan melalui mediasi yang dihadiri para pihak (pengadu dan teradu) didampingi oleh Dinas Pendidikan setempat.
“Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI.
Kedua, Potensi meningkatnya angka putus sekolah karena siswa menikah atau bekerja
Pandemi covid-19 dan kebijakan penutupan sekolah dan pemberlakuan belajar dari rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah karena pernikahan dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orangtua kehilangan pekerjaan. Ketika anak menikah atau bekerja, maka secara otomatis berhenti sekolah.
Saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi pada 8 provinsi (seluruh provinsi di Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu), ternyata beberapa Kepala Sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didiknya yang putus sekolah, karena beberapa sebab, misalnya tidak memiliki alat daring, kalaupun punya tidak mampu membeli kuota internet, sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak mengikuti PJJ, dan akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah. “Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun”, ujar Retno.
Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orangtua peserta didik, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas. Saat didatangi walikelas dan guru Bimbingan Konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah, atau sudah menikah, atau sudah bekerja.
“Ada kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan Lombok Barat (NTB) dimana pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orangtua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Usaha para guru tersebut patut di apresiasi,” kata Retno.
Dari data diperoleh jenis pekerjaan para siswa umumnya pekerjaan informal seperti tukang parkir, kerja dicucian motor, bekerja di bengkel motor, di percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART) dan ada juga yang membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan.
“Bahkan, pada salah satu SMK swasta di Jakarta yang mayoritas siswanya memang dari keluarga tidak mampu, rata-rata per kelas ada 4 siswa bekerja,” ungkap Retno. Namun, mereka diberikan kesempatan untuk menyusulkan tugas-tugasnya, kalau soal bayaran sekolah (SPP) tidak ada masalah, karena di DKI Jakarta mereka mendapatkan KJP Plus (Kartu Jakarta Pintar Plus) untuk pembiayaan pendidikannya, kalau daerah lain belum tentu terbiaya pemerintah daerah, terutama untuk jenjang SMA/SMK.