ISIS Tak Pernah Mati Gaya

photo author
- Kamis, 28 Januari 2021 | 17:18 WIB
images_Bendera-ISIS
images_Bendera-ISIS


Penulis: Soffa Ihsan, Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)





Wilayah kekuasaan boleh saja hancur berkeping. Tapi tungganglanggangnya ‘fisik’ dari sebuah ideologi superekstrim semacam ISIS, apakah lantas  luluhlantak? Ini yang terus melayangkan kepenasaran. “ISIS tidak pernah mati,” begitu banyak pengamat menatahkan. Kita saja yang mengatakan mereka sudah mati, tapi mereka sendiri tidak pernah menyatakan seperti itu. Fakta bersambut dengan adanya ribuan militan yang masih ada di Suriah dan Irak. Di luar wilayah Timur Tengah, ISIS terus memprioritaskan ekspansi dan penguatan misi globalnya, yang sekarang telah mencakup puluhan cabang dan jaringan.


Banyak yang mengendus kelompok ekstremis ISIS terus memperbanyak rekrutmen di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan negara lainnya, ditengah perhatian masyarakat yang teralihkan dengan adanya pandemi covid 19. Para militan Indonesia melihat bahwa pandemi ini benar-benar memberikan mereka peluang.


Gerilya Model Sel


ISIS telah berulang kali menunjukkan kemampuan mereka untuk bangkit dari kekalahan besar dan bertahan dengan mengandalkan kader veteran komandan di tingkat menengah yang berdedikasi, jaringan klandestin yang luas, dan penurunan tekanan kontraterorisme. Sel pro-ISIS di Indonesia terekam jejaknya terus aktif di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, seperti juga Mujahidin Indonesia Timur pro-ISIS, atau MIT, yang bergerilya di kawasan hutan di Poso.


Biden Hentikan Penjualan Senjata ke Arab Saudi dan UEA


Aktivitas pro-ISIS di Indonesia memang menurun pada 2020, dan terdapat banyak bukti yang menunjukkan dukungan untuk ISIS mulai memudar. Banyak faktor yang terlibat, di antaranya efektifnya  penegakan hukum, runtuhnya ISIS di Timur Tengah dan kurangnya minat ke Suriah. Begitupun faktor pembelotan para pemimpin puncak serta kesadaran diri individu bahwa biaya dukungan ISIS melebihi manfaatnya. Pandemi Covid mungkin juga berperan untuk pertemuan massal dan melemahkan basis pendanaan ekstremis.


Beberapa pengamat juga mengungkapkan bahwa sejumlah kelompok Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS sudah menyatakan sumpah setia kepada pimpinan ISIS yang baru, Abu Ibrahim al-Hashemi al-Qurashi, atau yang dikenal sebagai Amir Muhammad Sa’id ‘Abd-al-Rahman al-Mawla. Jelasnya, beberapa kelompok pro-ISIS di Indonesia telah memperbarui baiat mereka kepada pemimpin baru ISIS ini. Mereka mengerti bahwa kepemimpinan dapat berubah dalam perang, karena sebagian besar anggota kelompok juga telah mengalami perubahan kepemimpinan.


Saat Indonesia melihat ke depan, ancaman dari ekstremisme kekerasan tampaknya masih dapat dikelola: tidak ada yang merusak stabilitas politik dan tidak ada yang melebihi kapasitas polisi untuk mengelola. Tapi terorisme belum hilang, dan akan ada upaya berkelanjutan dari sel-sel kecil untuk berkumpul kembali, merekrut dan regenerasi dengan tujuan melakukan operasi jihad. Kemungkinan penangkapan akan terus berlanjut sembari dilakukan upaya pencegahan. Sebaliknya, kelemahan bisa menjadi pendorong untuk bangkit, seperti yang diharapkan para jihadis melalui slogan, "Lebih baik menjadi singa sehari dari pada domba seumur hidupmu."


Ekstrimis Indonesia selalu memiliki mobilitas serta model anggota ‘sel terputus’. Meski akibat banyaknya penangkapan atau pula kehilangan kepemimpinan namun serempak dapat dengan mudah menemukan sekutu baru, terkadang online, melalui kontak antar keluarga narapidana, atau melalui jaringan perdagangan. Kelompok menghilang secepat yang mereka bentuk.


Regenerasi tetap menjadi perhatian. Di beberapa daerah, inisiatif lokal telah berhasil menggantikan pemimpin pro-ISIS dari sekolah dan masjid ekstremis dengan ulama netral atau anti-ISIS. Di Bima, misalnya, para pemimpin anti-ISIS Jamaah Ansharul Syari'ah (JAS) menggantikan kelompok pro-ISIS, yaitu dari  Jamaah Ansharul Daulah (JAD) di beberapa sekolah.


Dalam kasus dimana para pemimpin atau keluarga mereka telah memutuskan untuk melepaskan diri dari ekstremis, akan terjadi tekanan sosial dari dalam jaringan lama mereka. Banyak individu untuk terlibat kembali, dari ketakutan akan pengucilan sosial hingga keinginan untuk membalas dendam. Meski banyak kekhawatiran yang diungkapkan tentang kredo bahwa kesulitan ekonomi bisa mengarah pada peningkatan terorisme, namun hanya ada sedikit bukti tentang korelasi semacam itu.  Ada memang  kelompok yang ditangkap pada 2020 yang membahas plot melawan kepentingan Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, mereka tidak pernah mampu melakukan aksinya.


Buka Google Cloud di Arab Saudi, Google Simpan Data Snapchat di Saudi

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X