Problem Realokasi Anggaran Pandemi

photo author
- Minggu, 6 Desember 2020 | 08:15 WIB
Penggunaan Anggaran
Penggunaan Anggaran


Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Roziqin, SH, M.Si, CFrA, CLA, Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia





Corona Virus Disiease 2019 (Covid-19) tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Di Indonesia, jumlah korban terinfeksi hingga meninggal terus bertambah. Namun demikian, usaha yang dilakukan Pemerintah mengatasi Covid 19 masih terlihat sporadis. Termasuk dalam pembuatan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perpu tersebut sempat diprotes banya pihak, termasuk dengan dimintakan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, belum selesai persidangan MK Membahas Perpus, Pemerintah dan DPR sudah mengesahkan Perpu tersebut menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 sehingga uji materi di MK dinyatakan tidak diterima.


BACA JUGA: Juli Lalu, Ketua KPK Berjanji Akan Meminta Tuntutan Hukuman bagi Pelaku Korupsi Anggaran Pandemi Covid, Ayo, Buktikan!


Melalui UU Nomor 2 Tahun 2020, Pemerintah memiliki berbagai fleksibilitas di bidang keuangan. Misalnya, sejak sekarang hingga 2022, Pemerintah  berwenang untuk melaksanakan anggaran defisit melebihi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang sebelumya dibatasi maksimal 3% dari PDB. Pemerintah juga diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang belum tersedia anggarannya.


Problem Hukum


Kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menjadi dasar bagi Pemerintah dalam melakukan realokasi anggaran agar anggaran difokuskan untuk penanganan Covid-19. Sayangnya, terdapat beberapa problem hukum dalam Perpu tersebut.


Pertama, UU tersebut belum diperlukan. Untuk realokasi anggaran guna penanganan pandemi, UU 17 Tahun 2003 telah menyediakan mekanisme APBN Perubahan. Berdasarkan UU 17 Tahun 2003, dalam keadaan darurat, perubahan APBN/APBD dapat dilakukan di kemudian hari, dan dapat dilakukan pengeluaran terlebih dahulu meski belum tersedia anggarannya. Bahkan bila tidak memungkinkan, bisa saja tidak dibuat Perubahan APBN/APBD, namun hanya berupa Laporan Realisasi Anggaran.


Kedua, UU tersebut tidak mengatur mekanisme evaluasi atas kegiatan realokasi anggaran dan mekanisme pengawasan masyarakat. Diketahui sejumlah Pemerintah Daerah belum optimal melakukan penyerapan atas realokasi anggaran yang dilakukan. Padahal penanganan pandemi harus cepat dan tersedia anggaran yang cukup untuk itu. UU Nomor 2 Tahun 2020 juga tidak tegas mengatur batas minimal alokasi anggaran untuk penanganan pandemi, sehingga Pemerintah Daerah maupun lembaga Pemerintah berpotensi hanya mengganggarkan penanganan Covid-19 dalam jumlah minimal.


Ketiga, ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2020  yang mengatur bahwa sampai 2022 defisit boleh lebih dari 3% tanpa batas maksimal, berpotensi terjadinya moral hazard oleh oknum Pemerintah dengan melaksanakan defisit secara tidak prudent.


Lalu Bagaimana?


Perlu diingat bahwa berdasarkan UUD 1945, hak budget ada pada DPR sebagai wakil rakyat, sehingga APBN harus ditetapkan setiap tahun oleh DPR. Dengan demikian, tidak tepat bila untuk penanganan pandemi, Pemerintah diberi kewenangan terus menerus untuk melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. Karena sejak Maret Pemerintah sudah tahu ada pandemi, maka selayaknya Pemerintah telah dapat merencanakan anggaran penangananan pandemi  untuk tahun-tahun mendatang dengan APBN.


Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, anggaran memiliki arti penting karena berfungsi sebagai otorisasi, alokasi, perencanaan, distribusi, stabilisasi, dan pengawasan. Oleh karena itu, semua hak dan pengeluaran keuangan negara harus dimasukkan dalam APBN/APBD.


Agar realokasi anggaran berjalan optimal, Presiden perlu menginstruksikan dan mengawasi menteri, para kepala lembaga negara, para kepala daerah dan DPRD, untuk segera memangkas anggaran yang tidak mendesak, dan mengalihkannya menjadi anggaran untuk penanganan wabah Covid-19. Berbagai anggaran yang bisa dipangkas adalah belanja yang tidak terkait dengan pelayanan rakyat secara langsung, antara lain konsinyering, perjalanan dinas, pembangunan gedung, jamuan rapat, alat tulis kantor, paket meeting di hotel yang tidak akan dilaksanakan di saat social distancing ini, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat juga harus berani melaporkan jika ada proyek- proyek yang tidak mendesak namun masih dikerjakan di tengah wabah saat ini.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X