Setelah pemilik lahan percaya dan bisa diatur, langkah berikutnya membuat perjanjian-perjanjian di notaris. Pemilik lahan diberi uang muka misalnya sebesar 10 persen dari harga total. Maka, salinan semua surat tanah diserahkan kepada notaris. Dalam perjanjian atau kesepakatan, mereka tidak akan lupa untuk meminta hak kepada pemilik lahan agar diperbolehkan mematangkan lahan tersebut.
Dengan pembayaran uang muka dan perjanjian pembayaran selanjutnya, mereka diperbolehkan membangun infrastruktur-infrastruktur awal, seperti pintu gerbang yang megah, jalan paving, taman-taman, dan sebagainya. Mereka juga bisa membangun rumah contoh dan kantor pemasaran di lahan tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapat kepercayaan ketika mereka memperlihatkan lahannya kepada para calon konsumen.
Kelompok mangsa kedua adalah shahibul maal atau pemilik modal. Umumnya, developer penipu seperti ini tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai rencana penipuannya. Biaya itu meliputi uang muka kepada para pemilik tanah, pematangan lahan, pembangunan infrastruktur awal sebagaimana diuraikan di atas, sewa kantor pemasaran, peralatan kantor, rekrutmen karyawan, persiapan gajinya, dan sebagainya.
Selain itu, mereka juga harus menyiapkan biaya operasional pemasaran yang jumlahnya lumayan besar. Untuk membiayai itu semua, kebutuhan mereka bisa mencapai setidaknya lima miliar rupiah. Dari mana modal awal itu? Mereka mencari para pemilik modal yang bisa diajak bekerja sama (baca: yang dapat ditipu). Umumnya, target mereka adalah orang-orang yang tidak paham bisnis perumahan dan bahkan juga tidak paham akad-akad syariah.
Para developer penipu ini membuat proposal dan materi presentasi yang bagus. Personel tim presentasinya juga pandai bicara. Biasanya mereka sangat lihai mengutarakan dalil-dalil tijarah (jual-beli) menurut syariat Islam, serta menjanjikan rezeki dan kehidupan yang barokah. Pemilik dana diajak bekerjasama dengan iming-iming bagi hasil yang besar dan bonus masuk surga.
Setelah berhasil memperoleh modal, sudah lengkaplah resources mereka. Lahan sudah ada, modal pun tersedia. Semuanya milik orang lain. Mereka hanya bermodal kelihaian membual dalil-dalil agama, ilmu "bisnis properti tanpa modal", dan badan hukum berupa PT tanpa izin-izin perusahaan real estat sebagai mana mestinya.
Kelompok mangsa ketiga adalah masyarakat calon pembeli rumah. Masyarakat konsumen. Setelah mendapatkan modal dan lahan tadi, mereka mulai merancang langkah-langkah selanjutnya. Mereka membuat instrumen-instrumen pemasaran, promosi, dan penjualan. Membuka dan memoles kantor dengan interior yang mewah, setidaknya yang tidak kalah dengan developer-developer lain.
Mereka membuat brosur yang mewah, situs web dan animasi yang bagus. Beriklan di media-media ternama. Mengikuti ekspo-ekspo properti dengan booth yang mewah. Semuanya itu hanya strategi untuk mengelabui konsumen bahwa perusahaan dan proyek perumahannya kredibel, sehingga konsumen bersedia membeli rumah-rumah yang sejatinya tidak ada. Tanahnya saja milik orang lain, izin-izinnya tidak ada, rumahnya juga tidak ada, lalu apanya yang syariah! Karena itu, media menyebutnya perumahan syariah fiktif.
Dalam rangka memuluskan usahanya, mereka butuh menggalang perkawanan dengan pihak luar. Disadari atau tidak, pihak-pihak luar ini juga terlibat dalam pemasaran perumahan syariah fiktif itu. Salah satu caranya adalah memanfaatkan figur publik. Penceramah Ustaz Yusuf Mansur (UYM) terpaksa harus berurusan dengan Polrestabes Surabaya dalam kasus penipuan Multazam Islamic Residence (MIR) di Sidoarjo, lantaran foto dan namanya terpampang dalam brosur-brosur perumahan MIR. Dia mengakui dulunya memang pernah melakukan pertemuan dengan tersangka Sidik Sarjono (pemilik MIR), namun menyangkal keterlibatannya dalam proyek tersebut.
Pihak lain yang dijadikan kawan (partner) adalah para broker atau agen pemasaran properti. Biasanya, yang banyak mereka gunanakan adalah para agen perorangan yang tidak perlu memiliki izin resmi. Broker-broker nakal ini tidak peduli perumahan itu ada sungguhan di lokasi atau hanya ada dalam brosur dan pameran. Yang penting bagi mereka adalah komisi yang besar.
Tidak perlu sertifikasi halal. Mengapa? Karena setiap produk properti yang diproduksi dan dijual oleh para pengembang yang mematuhi peraturan, sudah pasti merupakan produk yang halal; produk yang baik, memenuhi standar, dan layak huni. Selain itu, perumahan harus dibuat sesuai dengan janji-janji yang telah disepakati antara pengembang dan konsumen. Jika tidak, konsumen tidak akan membelinya.
Oleh: Supandi Syahrul, Ketua DPD REI Jawa Timur Komisariat Madura
Artikel ini telah terbit di Detik.com dengan judul "Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah".